Minggu, 18 Maret 2012

SEMANTIK PRAGMATIK: "Word Meaning, Sentence Meaning dan Speaker Meaning"

Makalah ini dipresentasikan pada Mata Kuliah Semantik Pragmatik Pengajaran Bahasa, yang diasuh oleh Prof. Jenny. Antara lain makalah ini membahas tentang Penertian Semantik dan Pragmatik. Sebagai pengantar, berikut petikan pendahuluannya:

Mempelajari bahasa atau ilmu bahasa, kita akan diperkenalkan dengan beberapa bagian yang menjadi kajian dari ilmu bahasa. Seperti diketahui, ilmu bahasa terbagi dalam beberapa bidang yang masing-masing mempunyai tujuan dan batasa antara satu dan lainnya sebagai bagian yang dikajinya. Secara mikro, ilmu bahasa dibagi ke dalam teori-teori bahasa yang terdiri dari fonologi (sistem bunyi bahasa), struktur (morfologi ‘tata kata’ dan sintaksis ‘tata kalimat’), serta sistem makna (semantic dan pragmatik). Sebagai cabang dari ilmu bahasa (linguistic), semantik dan pragmatik menjadi bahan kajian yang terus di pelajari oleh para ilmuan bahasa, terlebih lagi bagi mahasiswa jurusan bahasa. 

Untuk selengkapnya, silahkan DOWNLOAD

BAHASA, PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN BAHASA

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Pengajaran Bahasa dan Sastra yang diasuh oleh Prof. Sakura dan Dr. Fachrurrozi. Antara lain makalah ini membahas tentang Penegrtian Bahasa, Hakikat Bahasa dan Sejarah Pengajaran Bahasa. Sebagai pengantar, berikut penggalan latar belakangnya:

Setiap orang memiliki sebuah bahasa yang diperoleh secara otomatis, alamiah dan wajar karena biasa digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari oleh orang-orang yang berada di lingkungan kelompok masyarakatnya. Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi ini disebut bahasa ibu atau bahasa pertama orang tersebut, sedangkan bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi oleh orang-orang di luar lingkungan kelompok masyarakatnya dinamakan bahasa asing yang apabila dipelajari oleh orang tersebut akan menjadi bahasa keduanya.
Istilah bahasa kedua (B2) digunakan untuk menggambarkan bahasa-bahasa apa saja yang pemerolehannya dimulai setelah masa anak-anak awal (early childhood), termasuk bahasa ketiga atau bahasa-bahasa lain yang dipelajari kemudian. Bahasa-bahasa yang dipelajari ini disebut juga dengan bahasa target (target language).

Untuk selengkapnya, silahkan DOWNLOAD

DEFINISI ANALISIS KONTRASTIF (ANAKON)

Makalah ini dipresentasikan pada Mata Kuliah Analisis Konstrastif (Anakon) dan Analisis Kesalahan (Anaken), yang disuh oleh Dr. Aceng Rahmat. Antara lain makalah ini membahas tentang defenisi Anakon, kedudukan Anakon dalam Linguistik dan Anakon dalam Monolingual, Bililingual dan Multilingual. Sebagai pengantar, berikut kutipan pendahuluannya:

Tarigan mengemukana bahwa Analisis Kontrastif (Contrastive Analysis), selanjutnya digunakan istilah Anakon,merupakan kegiatan pembandingan dua struktur dua bahasa – bahasa pertama (B1) dan bahasa kedua (B2) – untuk menemukan perbedaan-perbedaan yang ada pada kedua bahasa terebut. Hasil perbedaan yang diperoleh dapat dijadikan dasar untuk memprediksi kesulitan belajar bahasa terutama bahasa kedua (B2).

Untuk mengulas Ankon lebih jauh, makalah ini akan membahas empat pokok bahasan, yaitu: (1),menelusuri letak Analisis Kontrastif dalam bidang Linguistik; (2), keberadaan Ankon sebagai studi Interlanguage; (3), mengenaliAnkonsecara epistemologi apakah sebagai Linguistik Murni atau Linguistik Terapan; (4), melihat hubungan Ankon dengan Kedwibahasaan (Billingualism).

Untuk selengkapnya, silahkan  DOWNLOAD

Jumat, 16 Maret 2012

DAFTAR KELOMPOK PRESENTASI SEMESTER 2 VERSI JPG

Minggu, 11 Maret 2012

Anggie Setia Ariningsih: Menyogok Preman Demi Mengajar Anak Jalanan

Oleh: A. Bimo Wijoseno

Gadis itu masih remaja. Namun, pemikirannya terhadap pendidikan anak-anak berkekurangan sudah begitu matang. Ia menyadari, pendidikan salah satu modal utama bagi seseorang demi menggapai masa depan yang berhasil. Karenanya, ia rela menyogok preman dengan uang agar diberi kesempatan mengajar anak-anak jalanan. Anggie Setia Ariningsih, nama gadis itu.


Dari ruang serbaguna Kelurahan Menteng Atas, Jakarta Selatan, terdengar suara riuh rendah. Pagi itu puluhan bocah berumur 3 - 5 tahun berkumpul di tempat itu.


"Mbak Anggi, mbak Anggi," seru seorang dari mereka sembari mengacungkan tangan. Yang dipanggil menoleh, lalu melempar senyum. Anggi, begitu ia biasa dipanggil, pagi itu memang menjadi "bintang".


Melihat dandanannya, Anggi tak beda dengan kebanyakan anak muda kota besar lainnya. Usianya pun baru 20 tahun. Namun, di usia semuda itu, ia sudah melakukan banyak hal berbeda dibandingkan dengan rekan-rekan sebayanya. Saat kawula muda lain lebih suka jalan-jalan ke mal, ia malah memilih mengajar anak-anak berkekurangan.


"Tidak mudah mengumpulkan anak-anak itu untuk diajak belajar bersama. Padahal tidak dipungut biaya," katanya. Maklum, orangtua mereka kebanyakan tinggal di daerah kumuh. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung dan pemungut sampah.


Bayar preman


Saat pertama Anggi mengunjungi anak-anak asuhnya awal Januari lalu, mereka tampak tak bersahabat. Salah satu warga bahkan bertanya, "Mau apa ya? Dari partai apa ya?"

Anggi harus bersusah payah menjelaskan keinginannya berbagi. Belakangan, setelah sikap mereka lebih bersahabat, Anggi jadi tahu penyebab ketakutan mereka. "Maaf, kita mesti waspada sama orang luar. Kami takut, anak-anak kami diculik dan dijual," imbuh salah satu dari mereka.



Suatu malam, dibantu Atun, salah seorang remaja putri di kampung itu, Anggi mendatangi tiga rumah penduduk. Sebelumnya, Anggi sudah meminta izin kepada lurah setempat, Samsul Bahri. Bukan hanya mengizinkan, Samsul bahkan menyediakan tempat untuk belajar. "Padahal tadinya saya cuma mau meminjam lapangan parkir kelurahan," kisah Anggi. Akhirnya, terkumpullah 45 anak yang mau belajar bersama Anggi.


Kegiatan di Menteng Atas bukan yang pertama dan satu-satunya buat Anggi. Sebelumnya, ia pernah membuat kelompok belajar anak jalanan di kolong jembatan Grogol, yang kini terhenti karena Anggi kesulitan mengatur waktu mengajarnya. Ada pengalaman menarik sebelum ia memulai aktivitas di kolong jembatan. Waktu itu (tahun 2000), bus kota yang ditumpangi Anggi melewati kolong jembatan Grogol.


"Aku dalam perjalanan menuju lokasi lomba debat, mewakili sekolahku, SMK Negeri 8, Pejaten Pasar Minggu," tuturnya. Tiba-tiba, dari jendela bus, ia melihat beberapa anak jalanan seusia anak SD berkeliaran di sana. "Kapan ya mereka sekolah, atau malah tak sempat sekolah?" cetusnya dalam hati. Anggi lalu turun dari bus dan menghampiri mereka.


"Kalian mau sekolah enggak?" tanyanya.

"Ah, bohong!" jawab mereka ketus.

Meski tak disambut ramah, Anggi tak putus asa. "Kita ketemu di sini lagi besok pagi ya?" ajaknya.
Anak-anak itu diam sebentar. "Enggak, ah. Takut ketahuan sama Abang (preman - Red.)."
"Bikin aja enggak ketahuan," timpal Anggi.



Esok harinya, Anggi membawa sekantong permen dan sebotol sampo. Ia tidak langsung mengajak mereka belajar. Namun, anak-anak jalanan itu dimintanya keramas.


"Minggu depan kita ketemu lagi ya?" pinta Anggi.


Tak ada jawaban pasti dari mulut mereka. Namun, minggu berikutnya, Anggi menepati janji. Ketika mengetahui Anggi datang, barulah mereka tersenyum. "Kok senyum?" tanya Anggi keheranan. "Lu ternyata enggak bohong," jawab mereka polos.


Menjadi anak muda berbakti seperti Anggi memang banyak menhadapi cobaan. Ketika mengajar para anak jalanan itu, misalnya, ia pernah dihampiri preman. "Buat apa lu di sini?" tanya mereka. Dengan berani Anggi menjawab, cuma ingin mengajar anak-anak jalanan itu membaca. "Sejujurnya, aku takut juga menghadapi preman-preman itu," ujarnya buka rahasia.


Untungnya, penjelasan Anggi bisa mereka terima. Namun, salah seorang preman bilang, anak-anak jalanan itu harus menghasilkan duit. "Dalam satu-dua jam mereka bisa menghasilkan duit seribu sampai dua ribu. Jadi, buat apa belajar membaca," kata si preman. "Oke, kalau begitu aku bayar. Ini uang untuk beli rokok, dan yang ini buat mabuk," tegas Anggi. Sim salabim, urusan beres. Anggi pun dapat mengajar kembali. Sejak itu, ia jarang diganggu preman lagi.


Modal cas-cis-cus


Imbalan materi jelas bukan tujuan Anggi memenuhi panggilan hatinya untuk berbagi ilmu. Siapa yang mau menggaji guru anak-anak pemulung atau anak-anak jalanan? Anak pertama dari dua bersaudara, buah pasangan Aris Sukoso (42) dan Eni Purwati (43) ini justru harus merelakan sebagian gajinya sebagai office manager di sebuah perusahaan minyak asing untuk membiayai semua aktivitasnya. Setidaknya, ia merogoh Rp 100.000,- per sekali pertemuan untuk membeli alat tulis, permen, dan hadiah-hadiah lain.


"Karier" mengajar Anggi mulai menanjak sejak menang lomba debat bahasa Inggris tingkat nasional tahun 2000. Saat itu ia ditawari Depdiknas untuk menularkan kemampuannya berbahasa Inggris kepada siswa-siswa lain. "Pak Dirjen (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah - Red.) bertanya pada saya bagaimana caranya fasih berbahasa Inggris, karena kalau mengandalkan pelajaran di sekolah, jelas tidak mungkin," terawang Anggi. "Saya jawab, ya belajar sendiri."


Menurut Anggi, pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia kurang lengkap. Siswa lebih banyak diajari menulis ketimbang berbicara. Padahal, bahasa Inggris digunakan tidak hanya untuk menulis, tapi juga berbicara. Itu sebabnya, sejak SMP Anggi gemar mengumpulkan bahan-bahan yang berkenaan dengan bahasa Inggris. Bahan itu ia kumpulkan dari majalah, buku, koran, TV kemudian dikumpulkan jadi satu modul.


Anggi juga terbiasa bergaul dengan orang asing, karena ibunya sekretaris di sebuah perusahaan asing. "Modul pengajaran" bahasa Inggris ala Anggi akhirnya sampai ke tangan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Gayung bersambut. "Beliau menawari saya untuk berbagi ilmu dengan siswa-siswa lain," jelasnya. Awalnya, Anggi ditugasi mengajar bahasa Inggris di 30 Sekolah Menengah Kejuruan di Jakarta. Senin sampai Jumat, ia berkeliling ke sekolah-sekolah itu. Ia hanya sempat masuk sekolah di SMKN 8, Jakarta pada Sabtu saja.


Profesi mulia itu dia jalani selama dua tahun. Ia makin sibuk, setelah program tidak hanya dijadwalkan di Jakarta, tapi juga ke seluruh pelosok Jawa. "Saya menjadi semacam motivator untuk teman-teman yang lain," sambungnya. Untuk kerja kerasnya itu, Anggi yang masih tercatat sebagai murid sekolah menengah mendapat insentif Rp 100.000,- per bulan. Hebatnya, setamat SMK, gadis ramah yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi office manager perusahaan minyak itu langsung ditawari Depdiknas menjadi pegawai negeri.


Namun, Anggi punya pertimbangan lain, saat menolak tawaran Depdiknas. "Lebih baik aku mengajar orang yang tidak beruntung, karena tidak ada dana buat bersekolah, tapi ada kemauan untuk belajar," terangnya. Anggi melihat banyak sekali siswa-siswi di sekolah mempunyai orangtua yang mampu membiayai sekolah mereka sampai jenjang tertinggi, tapi si anak sendiri kemauan belajarnya sepertinya kalah dengan anak-anak jalanan.


Pada saat bersamaan, ibunya menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan asing yang bergerak di bidang perminyakan. Meskipun belum mengantungi ijazah, Anggi langsung mengiyakan. "Modal saya sertifikat penghargaan, list of achievement dan lancar berbahasa Inggris," tuturnya sembari mesem. Hebatnya, Anggi langsung diterima.


Ditentang orangtua


Sejak bekerja, Anggi hanya mengajar pada Sabtu dan Minggu. Jadwalnya memang sangat padat. Tak heran kalau ia pernah terserang penyakit parah. Ia mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak, yang membuat Bu Guru muda ini lumpuh. "Kalau kumat, aku jedotin aja kepala ke tembok. Serangannya bisa sampai 30 menit. Terutama ketika marahku memuncak, tapi tidak tersalurkan," ungkapnya terbata-bata.


Anggi sempat lumpuh selama tiga bulan. Dua minggu sekali ia harus disuntik oksigen di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ia juga menjalani puasa mutih. Setelah setahun, kesehatan Anggi akhirnya berangsur pulih. Anggi mengakui, sebenarnya kadar leukosit dalam darahnya juga tidak seimbang. Ia terserang leukimia. "Namun, aku tidak mau mengganggap penyakitku leukimia," ujarnya mantap. Sebab Anggi yakin, ia tidak seperti itu dan bisa sehat seperti manusia normal.


Selain mengajar, semangat belajar Anggi pun tak pernah surut. "Saya kerja buat biaya kuliah," jelasnya. Sebenarnya, tahun 2003 ia sudah kuliah di Universitas Nasional. Namun, jadwalnya sering tidak klop dengan ritme kerja di kantor. "Aku terlambat terus, sampai akhirnya memutuskan keluar saja," ungkap Anggi. Jurusan Sastra Inggris ia ambil dengan pertimbangan agar mudah dicerna. Ia takut otaknya tidak mampu.


Kekhawatiran juga datang jika kelak ia tak dapat lagi berdiri di depan "kelas". Itu sebabnya, Anggi mulai menularkan semangatnya kepada sejumlah teman. "Saya mengajak mereka menemani mengajar atau menjadi donatur," bilangnya lirih. Ia berharap, kelak akan muncul anggi-anggi baru yang lebih hebat. Ia juga ingin ada sekolah gratis dan berkualitas bagi semua orang di Indonesia.


Di usia yang relatif sangat muda itu, Anggi sudah tampak luar biasa bijaksana. Bersusah payah mengajar anak jalanan dan orang miskin, tanpa digaji, bahkan merogoh kocek sendiri, tak banyak orang mau melakoni. "Jika kita mengerjakan sesuatu hanya karena imbalan uang, tidak akan pernah sempat menabung. Menabung di sini, tidak ada urusannya dengan uang, tapi rasa. Tepatnya, kepuasan batin. Itu juga sekaligus menjadi obat buat penyakitku," imbuhnya.


Sayangnya, kegiatan sukarela ini masih ditentang oleh orangtuanya. Alasannya sangat masuk akal, berkaitan dengan kesehatan Anggi. "Kedua orangtuaku begitu protektif, terutama ibu. Makanya, aku sering berbohong. Aku bilang pergi ke kantor, padahal mengajar. Soalnya, apa yang aku kerjakan ini tidak memberi nilai lebih buat keluarga dan diriku sendiri. Malah mengeluarkan dana," ucap Anggi serius.


Hal itu kadang terasa mengganjal di hati Anggi. "Namun, suatu saat nanti, aku akan bilang apa yang aku lakukan ini merupakan pilihan bebasku," janjinya kepada diri sendiri.


Tambahan


Anggie juga pernah diundang pada sebuah talkshow di KBR 68H Jakarta dalam acara "Guru Kita" beberapa tahun lalu. Saat itu adalah peringatan Hari Hartini, ia diundang khusus untuk merepresentasikan sosok Kartini di abad 21. Apa yg ia ceritakan nyaris sama dengan cerita di atas. Dengan adanya talkshow tersebut, bertambah juga orang yang berempati dengan apa yang telah dilakukan Anggei. 

Minggu, 04 Maret 2012

UU SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003, PP NO 19 TAHUN 2005 TENTANG SNP dan UU NO 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN

Berikut ini beberapa regulasi yang ditugsakan untuk dipelajari dalam mata kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Bahasa dan Sastra. Silahkan di-klik pada judul-judul di bawah ini untuk mendownload-nya. Selamat mencoba, terima kasih.

UU SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003

PP NO 19 TAHUN 2005 TENTANG STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

UU NO 14 TAHUN 2005 TENTANG GURU DAN DOSEN

Kamis, 23 Februari 2012

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan

Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.

Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. 

Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[1] Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?

Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2] Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.

Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). 

Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.

Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. 

Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.

Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).

Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.

Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.

Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.

Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.

Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.

Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?

Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.

Referensi:
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Sumber: