Kamis, 23 Februari 2012

Profesi dan Profesionalisasi Keguruan

Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan.

Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi (professionalization) harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. 

Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah.

Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[1] Bagaimana dengan pekerjaan keguruan?

Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik (theoretical knowledge). Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik.[2] Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia.

Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu.

Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandiri (self-regulated training and practice). 

Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait.

Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. 

Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru.

Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional.

Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien (authority over clients).

Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru.

Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar (to help the others learn), yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka.

Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi (community rather than self-interest orientation). Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain (altruism) dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi.

Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.

Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.

Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis (written curriculum), agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh.

Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya.

Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali (locus of control) profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan.

Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan?

Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara (state-oriented society) ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi (merit and achievement-oriented society)? Beranikah para guru mengambil-alih kembali (reclaiming) sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah?
Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian.

Referensi:
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruan, Surya, 13 Maret 2007.
Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Supriadi, D. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Sumber:

Rabu, 22 Februari 2012

Saat-saat Penuh Kesan Bersama Prof. Nainggolan

Ini adalah saat-saat terindah bersama Prof. Nainggolan, dosen yang penuh makna dan teka-teki. Ia telah melakukan apa yang menurutnya baik untuk kami sebagai mahasiswanya, meskipun kebanyakan dari kami menganggap itu adalah cara/metode lama dalam proses pembelajarn. Terlepas dari penilaian subjektif masing-masing mahasiswanya, yang pasti Nainggolan telah menciptakan kesan belajar yang tetap dan terus diingat, melekat dalam diri kami. 

Seperti kebanyakan proses belajar yang kami dapatkan dengan dosen-dosen lain, Nainggolan juga mempunyai kelebihan dan kekurangan, yang biasanya membuat kami (mahasiswanya) menggerutu dan mengeluh. Dan dikesempatan lain, ia  mencoba menciptakan situasi kelas yang dinamis. Ia selalu menekankan bahwa segala sesuatunya harus jelas, tuntas dan tak perlu bertele-tele. "Singkat-singkat..!" katanya suatu ketika saat diskusi kelompok berlangsung.  
Foto-foto diambl saat usai Ujian Akhir Semester, Rabu 22 Februari 2012

Ada yang Ulang Tahun (14/2/2012)

Minggu, 19 Februari 2012

JAWABAN LENGKAP UAS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

INI ADALAH JAWABAN LENGKAP DARI UAS PSIKOLOGI PENDIDIKAN. SILAHKAN TEMAN-TEMAN MENGELABORASINYA DENGAN PEMIKIRAN SENDIRI MELALUI CARA PARAPHARASE ATAU CARA LAIN YANG DIANGGAP BISA MEMINIMALISIR KECURIGAAN ATAS PENCIPLAKAN. GUNAKAN WAKTU SEMAKSIMAL MUNGKIN. JANGAN LUPA MENGGANTI UKURAN DAN JENIS FONT SERTA MERUBAH NUMBER AN BELLETING YANG DIPAKAI PADA FILE ASLI INI.

Terima kasih

Sabtu, 18 Februari 2012

JAWABAN SEMENTARA UTS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

JAWABAN INI BELUM LENGKAP, MASIH ADA BEBERAPA JAWABAN YANG BELUM DIMASUKKAN, ANTARA LAIN: NONOR 1 (A,C, DAN E), NOMOR (5 C belum lengkap)

SEKALI LAGI DAN AKAN TERUS DINGINGATKAN, AGAR TEMAN-TEMAN MEMPARAPHRASE ISI JAWABAN YANG SUDAH ADA. JANGAN SAMPAI SEMUA JAWABAN SAMA.  KARENA INI AKAN MENIMBULKAN KECURIGAAN SANG DOSEN DAN KITA AKAN MENANGGUNG AKIBATNYA BERSAMA.

CARA LAIN SETELAH MEMPARAPHRASE ADALAH, MERUBAH JENIS DAN UKURAN FONT, SPASI DAN SEGALA BENTUK KREATIFITAS LAIN YANG ANDA MILIKI.

TERIMA KASIH, SILAHKAN CLICK LINK DOWNLOAD DI BAWAH INI:

Penelitian Eksperimental dan Kausal Komparatif

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian, yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas antara lain tentang pengertian, karakteristik, prosedur penelitian dan validasi Penelitian Eksperimental dan Penelitian Kausal Komparatif. Berikut kutipan latarbelakangnya:

Davis (2004) dalam Emzir 2010, berpendapat bahwa penelilitian eksperimental didasarkan pada asumsi bahwa dunia bekerja menurut hukum-hukum kausal. Hukum-hukum ini esensinya adalah linear, meskipun bersifat kompilasi dan interaktif.

Tujuan penelitian eksperimental adalah untuk menetapkan hukum sebab akibat dengan mengisolasi variabel kausal. Pandangan yang lebih ringan tentang asumsi-asumsi filosofis di belakang penelitian eksperimental adalah bahwa “kadang-kadang” dan “dalam cara yang sama”, dunia bekerja menurut hukum-hukum kausal. Dengan demikian, hubungan sebab akibat bukan pandangan akhir dari realita, tetapi penunjukkan sebab dan akibat bermanfaat dalam keadaan/kondisi yang sama (Davis 2004: 3).

Analisis Data Kuantitatif: Statistik Deskriptif dan Statistik Inferensial

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian, yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas antara lain tentang pengertian, pengujian hipotesis dan uji signifikansi Statistik Deskriptif, serta jenis-jenis Statistik Inferensial. Berikut kutipan latarbelakangnya: 

Statistik inferensial adalah teknik analisis data yang digunakan untuk menentukan sejauh mana kesamaan antara hasil yang diperoleh dari suatu sampel dengan hasil yang akan didapat pada populasi secara keseluruhan. Jadi statistik inferensial membantu peneliti untuk mencari tahu apakah hasil yang diperoleh dari suatu sampel dapat digeneralisasi pada populasi.  

Sejalan dengan pengertian statistik inferensial menurut Creswell, Muhammad Nisfiannoor berpendapat bahwa statistik inferensial adalah metode yang berhubungan dengan analisis data pada sampel untuk digunakan untuk penggeneralisasian pada populasi. Penggunaan statistic inferensial didasarkan pada peluang (probability) dan sampel yang dipilih secara acak (random).

Pengumpulan Data Kualitatif

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian, yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas antara lain tentang langkah-langkah dalam pengumpulan data untuk Penelitian Kwalitatif. Berikut kutipan latarbelakangnya:

Dalam melakukan penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang paling umum dapat dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dokumen, gambar, percakapan, dan perekaman. Semua jenis data ini memiliki satu aspek kunci secara umum, yaitu analisisnya terutama tergantung pada keterampilan integrative dan interpretative dari peneliti.  

Interpretasi diperlukan karena data berupa deskripsi atau rincian dan jarang berupa angka. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Observasi, Wawancara, Dokumen, Perekaman, dan Pemeriksaan Keabsahan Data (Validitas dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif).     

Metodologi Penelitian Analisis dan Interpretasi Data Penelitian Kualitatif

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian, yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas antara lain tentang pengertian, prinsip, jenis-jenis dan prosedur penelitian Metodologi Penelitian Analisis dan Interpretasi Data Penelitian Kualitatif. Berikut kutipan latarbelakangnya:

Analisis dan interpretasi data merupakan dua aspek penting dalam penelitian yang saling terkait dan hampir tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Suatu analisis data tidak akan banyak memberi manfaat terhadap hasil penelitian apabila tidak dilanjutkan dengan interpretasi data, sebaliknya interpretasi data yang tidak diteliti dengan prosedur analisis data yang sistematis dan benar, maka akan dapat menyesatkan peneliti terutama dalam pengambilan keputusan terhadap hasil interpretasi data dan generalisasi hasil penelitian.

Dalam proposal, bagian analisis data bisa terdiri dari sejumlah komponen. Tetapi, proses analisis data secara keseluruhan melibatkan usaha memaknai data yang berupa teks atau gambar. Untuk itu, peneliti perlu mempersiapkan data tersebut untuk dianalisis, melakukan analisis-analisis yang berbeda, memperdalam pemahaman akan data tersebut, menyajikan data, dan membuat interpretasi makna yang lebih luas akan data tersebut.
  

Penelitian Model Analisis Isi dan Metode Penelitian Sastra

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian, yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas antara lain tentang pengertian, jenis-jenis dan prosedur penelitian Model Analisis Isi dan Metode Penelitian Sastra. Berikut kutipan latarbelakangnya:

Sebagai salah satu sub pokok bahasan penelitian dengan pendekatan kualitatif, analisis isi dianggap oleh para ahli sebagai salah satu cara yang paling lengkap, intensif, dan sistematis dalam mengkaji pokok bahasannya.   

Pada awalnya analisis isi menggunakan metode penelitian kuantitatif namun seiring dengan perkembangan keilmuan yang menuntut kajian lebih dalam dan menyeluruh, paradigma penelitian analisis isi lebih condong kearah penelitian dengan paradigma kualitatif.  

Sebagai mantan penelitian dengan paradigma kuantitaif, prosedur penelitian analisis isi masih menggunakan pendekatann kuantitatif dan merupakan salah satu cara bagaimana metode ini melestarikan manfaat pendekatan kuantitaif sehingga hasil kajian penelitian ini lebih sempurna.


Penelitian Etnografi dan Grounded Theory

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian, yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas antara lain tentang asumsi, prinsip, jenis-jenis dan prosedur penelitian Etnografi dan Penelitian Grounded Theory. Berikut petikan latar belakangnya:

Pada umumnya, penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali informasi secara lebih mendalam, menjawab pertanyaan mengapa, memungkinkan untuk mendapatkan hal-hal yang tersirat, mendapatkan suatu hipotesa, dan sebagainya. Sedangkan jenis-jenis penelitian kualitatif yang dapat digunakan untuk menyusun skripsi anda adalah biografi, fenomenologi, Grounded theory, etnografi, dan studi kasus. 

Penelitian biografi merupakan studi tentang individu beserta pengalamannya yang dituliskan kembali dengan cara mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip yang ada. Penelitian fenomenologi adalah suatu penelitian yang mencoba mengungkap atau menjelaskan makna konsep atau fenomena tentang pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian kualitatif berikutnya disebut Grounded theory. 

Penelitian Naratif dan Penelitian Studi Kasus

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Metodologi Penelitian yang diasuh oleh Prof. Emzir dan Dr. Fachrurrozi. Isinya membahas tentang Penelitian Kwalitatif, khususnya tentang Penelitian Naratif dan Penelitian Studi Kasus. Berikut kutipan latar belakangnya: 

Adalah suatu hal yang lumrah jika pengalaman dalam kehidupan individu diceritakan kepada orang lain. Mereka memberikan pandangan mereka tentang kelas, sekolah, masalah pendidikan dan latar dimana mereka bekerja. 

Ketika individu menceritakan kehidupannya kepada peneliti, mereka merasa didengarkan. Informasi yang mereka berikan kepada peneliti berupa cerita pengalaman-pengalaman pribadi. Data yang berupa cerita dilaporkan menggunakan desain penelitian naratif. 

Sedangkan  penelitian kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu. Ditinjau dari wilayahnya, maka penelitian kasus hanya meliputi daerah atau subjek yang sangat sempit. Akan tetapi, ditinjau dari sifat penelitian, penelitian kasus lebih mendalam. Dalam makalah ini kami memaparkan tenatan penelitian naratif dan penelitian kasus.



Jumat, 17 Februari 2012

JAWABAN SEMENTARA UTS PSIKOLOGI PENDIDIKAN

JAWABAN INI BELUM LENGKAP, MASIH ADA BEBERAPA JAWABAN YANG BELUM DIMASUKKAN, ANTARA LAIN: NONOR SATU (A,B,C,D DAN E), NOMOR (5 B belum lengkap, dan bagian C dan D belum ada), NOMOR 8 DAN NOMOR 9 (C).

Diberitahukan: Kepada teman-teman yang belum memasukkan jawaban, silahkan memasukkan secepatnya. Sebab masih harus dipelajari lagi. Dan ingat, mohon sesama kelompok (2 orang) yang sudah dibagi oleh pak Prof Nainggolan, MEMPARAPHARESE lagi jawaban tersebut. Ini demi keselamatan kita bersama.

Terima kasih.

DOWNLOAD

Rabu, 15 Februari 2012

Kenali Dirimu: Suatu Renungan untuk Manusia

ICatatan ringan oleh SurantoI
Ada kalimat bijak yang menyatakan “barangsiapa mengenali dirinya sendiri, maka dia akan mengenali siapa Tuhannya”. Sekilas kalimat tersebut ringan diucapkan, namun di balik itu sarat akan makna yang mendalam. Bila kita kaji lebih jauh, dan menanyakan kepada diri kita sendiri “siapakah aku” tentu kita akan mendapatkan jawaban yang beragam. 

Ada yang menjawab aku ya aku. Aku bukan kamu, namun apabila kita tanyakan lebih jauh mana aku? Mungkin dia akan menjawab aku ya ini (sambil menunjukkan badannya) dia tidak sadar bahwa badan dan aku adalah dua objek yang berbeda. Kita sering mengatakan “itu sepatuku” dan kita sadar bahwa sepatu itu bukan aku, aku bukan sepatu.  

Atau “itu tanganku” kita tahu persis bahwa tangan bukan aku dan aku bukan tangan. Aku dan tangan adalah dua hal yang berbeda. Sampai tiba saatnya kita mengatakan “itu jasadku” aku bukan jasad, dan jasad bukan aku. Lalu siapakah “Aku”?

Ternyata kita belum mengenali siapa diri kita sendiri. Kita masih menganggap bahwa kita adalah jasad, ingatlah bahwa kita bukan jasad. “Aku” adalah ruh yang berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. “Aku” selama ini tinggal dan bersemayam di dalam jasad sehingga kita sering mengganggap bahwa “Aku” adalah jasad. Manusia sering terlalu memikirkan  kebutuhan jasad namun jarang memikirkan kebutuhan “Aku” padahal apabila aku pergi meninggalkan jasad itu, maka jasad itu menjadi tidak ada gunanya, dia akan segera dipendam (dikubur) karena sudah tidak ada gunanya lagi.

Untuk itu marilah wahai manusia kenalilah siapa dirimu? Dari mana asalmu dan kemana berakhirmu? Bagi mereka yang telah berhasil menemukan dirinya sendiri akan mempunyai power yang luar biasa. Semua potensi yang ada dalam dirinya dapat dimaksimalkan.

PANDANGAN HIDUP

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan yang diasuh oleh Prof. Nainggolan. Berikut Petikan bagian awal makalahnya:

Manusia hidup di dunia ini tidak hanya sebagai makhluk individual, tetapi juga sebagai makhluk sosial. Dimana saling berinteraksi antara satu individu dengan individu yang lain. Sehingga sering dihadapkan pada masalah serta gangguan dalam tujuan hidupnya.

Dalam menghadapi berbagai masalah, hambatan, tantangan, dan gangguan itu manusia perlu mempunyai suatu pelindung dirinya yaitu pandangan hidup yang teguh. Pandangan hidup ini merupakan pegangannya, sebab dengan memegang teguh pada pandangan hidup yang diyakininya, maka ia tidak akan bertindak sesuka hatinya. Bila ia menghadapi masalah, hambatan, tantangan dan gangguan serta kesulitan yang menghantuinya, ia tidak akan bertindak sembrono karena ia mempunyai pandangan hidup yang dipakai sebagai pedomannya dalam menyelesaikannya. 

Manusia dan Pengelolaan Konflik

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, yang diasuh oleh Prof. Nainggolan. Berisi berbagi hal tentang manusia dan konflik. Berikut kutipan bagian awal dari makalaih ini:

Manusia merupakan makhluk sosial yang mempunyai sifat ketergantungan antara satu dengan yang lain. Hal ini dapat terjadi ketika adanya suatu proses interaksi sosial antara masyarakat itu sendiri. Secara kodrati manusia diciptakan bergolong-golongan ada pria ada wanita, ada kaya ada miskin, ada pemegang otoritas ada juga rakyat jelata. Perbedaan yang terjadi akibat dari penggolongan manusia ini merupakan suatu hal yang lazim terjadi di masyarakat karena berbagai faktor, namun untuk menyamakan persepsi, visi dan misi demi mencapai tujuan bersama maka dibutuhkannya sebuah wadah yang dapat menampung berbagai golongan dan perbedaan kepentingan itu sendiri yaitu berupa organisasi. 

Pembelajaran Berjaringan

Makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pendidikan, yang diasuh oleh Prof. Asmaniar. Isinya, membahas tentang pembelajaran berjaringan dan sumber daya yang mendukungnya. Berikut petikan pada bagian awalnya:

Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, M.Sc. dalam makalahnya yang berjudul Pengembangan Terkini Sistem Pendidikan dan Pembelajaran di Perguruan Tinggi  memaparkan Pembelajaran adalah merupakan upaya sengaja dan bertujuan yang berfokus kepada kepentingan, karakteristik dan kondisi orang lain agar ia/mereka dapat belajar dengan efektif dan efisien . Istilah ini merupakan sebuah penekanan pada konsep di mana pembelajaran dapat terjadi sesuai dengan prinsip keanekaragaman peserta didik. Konsep ini lebih menekankan pada teori psikologi konstruktivistik dari pada teori psikologi behavioristik. Pada konsep pembelajaran ini peserta didik mendapat beraneka informasi berdasarkan pengalaman pembelajaran yang mereka dapatkan dan  diperoleh dari pengalaman belajar dari lingkungan sekitarnya. 

Kamis, 02 Februari 2012

Hanya Sepasang Sepatu

Catatan ringan oleh Mohamad Sahril.

Cerita ini membuat saya tersentak dan memulai lagi rutinitas, menulis sesuatu hal yang menghantui pikiran. Suatu ketika di zaman kolonial di Hindia (Jawa dan sekiratnya), sebuah berita diturunkan dalam satu-satunya koran pertama milik kaum pribumi di Bandung. Namaya adalah ‘Medan’, yang belakangan dikenal menjadi ‘Medan Prijai’, sebagai harian pertama yang dimiliki oleh kaum pribumi dan menggunakan bahasa Melayu.

Beritanya sangat sederhana tapi menarik untuk dicermati lebih jauh. Apalagi jika dikaitkan dengan gaya hidup orang yang akhir-akhir ini semakin memeprtanyakan esensi suatu benda yang melekat pada tubuh manusia sebagai pakaian, dan dimaksudkan sebagai simbol atau identitas budaya dan jati diri.

Begini ceritanya; hanya karena sepasang sepatu dan pakaian layaknya orang Eropa, seorang pemuda dalam berita Koran itu dianiaya oleh beberapa orang yang tak dikenal. Dalam berita itu diketaui si korban bernama Abdoel Moeis. Sepedanya dirusaki, bajunya disobek-sobek dan sepasang sepatunya entah kemana. Hilang. Sebagai pria dari kalangan terdidik, ia pun mengadukan bencana atas dirinya itu ke Polisi. Dan polisi tak menggubris masalah Moeis. Dengan susah payah dalam kondisi tak sepenuhnya sadar, pemuda itu digotong ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Secara kebetulan, seorang karyawan yang sesungguhnya bukan wartawan di harian Medan Prijai menulisnya. Dan berita itu menimbulkan reaksi dari Polisi.

Di suatu hari pada jam kantor, seorang polisi dengan pakaian dinas lengkap mendatangi kantor redaksi dan mengajukan keberatan terhadap pemberitaan itu. Walaupun sesungguhnya hanya sepasang sepatu, tapi buntutnya sangat menyudutkan pihak kepolisian, karena tak menggubris aduan pemuda itu. Sempat terjadi adu mulut antara polisi itu dengan pemimpin redaksi. Karena faktanya jelas dan saksi yang sekalian penulis berita itu juga bersedia diajukan ke pengadilan jika diperlukan. Akhirnya polisi itu kembali dengan penyesalan dan perasaan seperti ditelanjangi.

Situasi menjadi terbalik. Pengusutan justeru dilakuakan pada pelaku. Bukan pada karyawan Medan Prijai. Setelah ditelusuri, diketahui dalang dari pengeroyokan itu adalah Sang Patih Bandung. Pertentangan hukum juga sempat dikait-kaitkan dengan strata sosial seseorang. Sebab pada zaman itu, kalangan priyai tidak bisa diajukan ke pengadilan pribumi. Mereka punya aturan sendiri. Sang Pati tak disenuh pengadilan, begitu juga dengan Pimred Medan Priyai, karena memang ia adalah anak seorang Bupati.

Meski situasi pengadilan berlangsung alot dengan fakta-fakta terbaru, sasus di masyarakat juga menciptakan pro-kontra. Ada sebagian kalangan yang membenarkan pengeroyokan dengan alasan identitas. Tak pantas seorang pribumi bersepatu dan berpakaian layaknya Eropa. Soal menggunakan pakaian Eropa dianggap sebuah pelecehan terhadap adat dan nenek moyang. Mereka menganggap bahwa seorang pribumi harusnya berpenampilan layaknya nenek moyangnya dulu. Seolah perkembangan zaman hanyalah milik mereka yang pemilik dan memashurkan peradaban sendiri. Tapi sayangnya, alasan masyarakat yang muncul ketika itu bukan berupa penanda atas simbol kultural melalui mode.

Gerakan penyokong Abdoel Moeis hanya sedikit, hanya dari kalangan terpelajar. Apa arti dan guna sebuah sepatu? Tidak lain dari pakaian. Kalau orang berpakaian lain, apa tubuh dan jiwanya juga berubah secara mendadak? Sekiranya orang telanjang saat mandi di kali dan tidak menggunakan pakaian, apakah ia lantas menyalahi aturan leluhur dan tidak beragama? Apa pun pakaian yang ia gunakan, bukankah ia tetap telanjang bulat di dalamnya?

Pemberitaan Medan Prijai itu menciptakan polemik di tengah masyarakat, seiring banyaknya tanggapan yang muncul tentang kasus tersebut, terutama soal pakaian dan sepsang sepatu. Dan di bagian lain, ketiga penganiaya dipenjarakan. Sementara Sang Patih tak disentuh sama sekali oleh hukum.

Dari polemik yang terjadi selama beberapa minggu, besoknya para pemuda langsung menyerbu tokoh sepatu. Mereka memilih sesuka hati dan seleranya untuk mengenakan yang mana yang menurut mereka baik. Mulai saat itu, sepatu bukan lagi hanya digunakan kalangan Eropa di Hindia ataupun peranakan. Asal punya uang, bisa saja pribumi menggunakannya. Dan tokoh-tokoh sepatu pun meraup keuntungan dalam waktu singkat.

Disaruikan dari roman Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer

Perkembangan Kognitif dan Bahasa dalam Hubungan Sosial dan Perkembangan Sosioemosional

Makalah ini membahasa tentang perkembangan kognitif dan bahasa anak, serta hubungan sosial dan perkembangan Sosioemosionalnya. Sebagai bahan diskusi, makalah ini dipresentasikan pada mata kuliah Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan, yang diasuh oleh Prof. Z. S. Nainggolan, MA. Sebagai pengantar, berikut latar belakangnya:

A. Pendahuluan

Pada keseharian pergaulan kita semua baik dilingkungan social masyarakat maupun dilingkungan proses belajar dan pembelajaran di kelas. Kita tentu mengalami perubahan cara berkomunikasi, misalnya; pada saat dalam proses pembelajaran di kelas, antara siswa kelas rendah dan  siswa kelas tinggi, siswa kelas rendah menanyakan pertanyaan di kelas dengan lugas, langsung dalam bahasa yang sederhana yang kadang kala tidak ada subjeknya, tetapi langsung objek. Siswa kelas tinggi dalam mengajukan pertanyaan dengan kalimat yang lengkap, panjang serta memperhatikan kaidah-kaidah kesopanan.

Perkembangan pola berpikir siswa tersebut merupakan salah satu bentuk aktualisasi perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah perkembangan individu untuk memperoleh tahu. Struktrur berfikir, keterampilan berfikir, bagaimana individu memperoleh informasi merupakan potensi perkembangan kognitif. Cara siswa berfikir dapat kita pahami dari cara siswa menyampaikan pesan, baik berupa ide, pendapat, pertanyaan, maupun pernyataan. Kemampuan siswa merangkai kalimat, memahami pesan dan mempergunakan berbagai media untuk menyampaikan pesan merupakan aktualisasi dari perkembangan bahasa.

Perkembangan kognitif berhubungan dengan perkembangan bahasa. Perkembangan kognitif memfasilitasi kematangan perkembangan bahasa, dan sebaliknya perkembangan bahasa menfasilitasi perkembangan kognisi. Struktur berfikir memfasilitasi berkembangnya struktur kalimat yang dipergunakan oleh siswa. Sebaliknya penguasaan bahasa membuat siswa mampu memahami pesan sehingga memperoleh pengetahuan baru yang pada akhirnya memfasilitasi pengembangan struktur atau pola berfikir baru.

Rabu, 01 Februari 2012

Calculating of Praying

Sebuah catatan ringan oleh Ninin Herlina

Aku masih punya keyakinan akan megahnya bangsaku,,,

Optimismeku menghadirkan kesejahteraan yang jujur bagi segenap umat

hanya dengan doa yang penuh keyakinan...

Let's to Pray...

Manusia sepatutnya melakukan perencanaan sebaik mungkin dalam hidup, namun manusia juga tidak bisa terlalu sombong mengkalkulasikan kekuatannya dengan kehendakNya. apabila usaha manusia dikategorikan sama dengan doa (balancing) maka secara tidak langsung manusia menyamakan kekuatannya dengan Tuhan...dan itu jelas angkuh...

Sementara, kita bisa menganalisis sebiah ilustrasi berikut:

'Seseorang yang berusaha selama 5 bulan latihan lomba lari, dalam jangka waktu tersebut ia selalu berusaha keras untuk berlatih sambil terus berdo'a tanpa henti. Pada hari H-nya ia tentu memulai gerak langkah dengan do'a, sampai akhirnya ia terus berlari sambil berdoa dalam hati. Ketika ia mulai larut dalam kegiatan berlari pastinya ia akan berusaha berlari sekencang mungkin dengan do'a, bahkan dengan menutup mata dan memasrahkan diri dalam kekuatan Tuhan dengan melupakan teori2 bahwa dalam berlari tidak boleh menutup mata dan harus menatap lurus, konsentrasi atau tetek benegk lainnya...

Namun manusia yang tidak sombong pasti akan mengakui bahwa detik2 terakhir ia pasti berlari dengan kekuatan terkahir pula, dan ia benar2 lelah, hanya pasrah dalam kekuatan Tuhan agar ia menang.


Kita bisa menyimpulkan sebagaimana ilustrasi diatas, bahwasanya usaha, kekuatan manusia itu terbatas, dan sangat terbatas....

Kalo dulu saya sempat bertanya kepada dosen tentang kapasitas Usaha dan Doa, namun beliau tidak mau berkomentar banyak tentang itu. Maka saya menyimpulkan sendiri sekarang dengan lebih berani.....yaitu dengan sebuah renungan akan "calculation of praying and trying"

USAHA ≠ DO’A│DO’A > USAHA

Kita kembali lagi, sebesar apapun manusiaa menyusun berbagai konsep untuk kemenangan atau kejayaan, namun itu bukan sebesarnya perjuangan yang mampu mengalahkan kehendak Allah SWT.

Karena kata-kata familiar yang mungkin dianggap sebagai kalimat pembebas yaitu "Allah maha tahu yang terbaik", menjadi kekuatan besar bagi manusia utnuk menunduk dan menatap diri sebagai mahluk yang hanya memiliki kekuatan terbatas.

Apapun kenyataannya, Tuhan tidak mungkin menghadirkan keburukan bagi hamba-Nya yang beriman dan taat. Apalagi bangsa Indonesia masih memiliki banyak komunitas yang senantiasa memperjuangkan agama Allah swt, dan Insya Allah kita akan menemukan khalifah yang diridlai-Nya..amien...

Gambar dikutip dari: rickafitria.wordpress.com

Batasan Berfikir Manusia masa Kini

Catatan ringan oleh Ninin Herlina

Seorang pemikir terkadang menghabiskan kesehariannya dalam kesendirian,,,menarik diri dari hiruk pikuk kehidupan, melihat segala dinamika secara holistic, comprehensive

karena ketika ia tidak menarik diri dan terus berada didalamnya, maka akan sulit menemukan pemaknaan gerak kehidupan secara holistic, maka pendefinisian akan dilakukan dalam tataran pemaknaan yang dangkal,,,bahkan bisa jadi ia tidak sempat memikirkan untuk menghasilkan pemaknaan,,,karena kehidupan praktis justru menantang manusia untuk menang mempertaruhkan materi kehidupan,,,

Banyak pemikir yang tidak memiliki mal yang berlimpah,,tp kekyaan pemikirannya justru harta yang tak mampu dikalkulasi dengan materi kehidupan.

Aku masih kurang paham sebenarnya maksud Michel Foucoult menjabarkan “kembalinya Moral melalui Seks”,,tapi pendefinisiannya aku anggap kerap dihadapi semua insane, meski bukan dalam pemaknaan yang sempurna,,,karena memang pergulatan manusia saat ini adalah action semata,,sehingga luput daripda penggalian esensinya,,,

Padahal, bagi pemikir semua gerak memberi definisi yang tersirat, sehingga benar kiranya dalam kitab petunjuk disebutkan bahwa Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan usaha maupun doa hamba-Nya…semua memiliki nilai, namun sejauh mana hari ini kita mampu memberi penilaian terhadap gerak keseharian kita??

Bagaimana nilai kegiatan kita setiap harinya??apakah kalkulasinya hanya terhitung ketika kita mampu menhadirkan suatu prestasi yang dipuji oleh semua orang,,,apakah ketika kita sudah menghasilkan banyak materi dalam keseharian kita??, atau apakah ketika kita menjadi kebanggaan karena hasil karya yang mengagumkan???,,,

How can we appreciate ourself??

Aku ingin tahu bagaimana Kahlil Gibran menilai dirinya disaat kesendiriannya,

Aku ingin tahu bagaimana plato merenung dalam menilai dirinya dengan kesendirian

Aku ingin tahu bagaimana Aristoteles bahkan Micheal Foucoult menilai dirinya sebagai manusia yang bisa berfikir dengan kesendiriannya???

Bahkan Al-Ghazali juga menilai diri dengan kehati-hatiannya berfikir dan bergulat dalam penghambaan yang sempurna itu juga dilakukan dalam kesendirian, dan aku ingin tahu bagaimana ia menilai dirinya…

Kembali dengan bahsa dalam kitab petunjuk, bahwa memang tak ada yang sia-sia dan luput dalam penilaian Tuhan segala sesuatu yang terjadi di bumi dan dilangit. Aku menemukan bahwa esensi kehidupan semua terhitung oleh Dia yang perhitungannya begitu cepat. 

Konsep kehidupan yang aku nikmati saat ini adalah orang-orang disibukkan dengan label status social kehidupan, sehingga wacana bahkan penilaian untuk kehidupan hanya dibatasi dengan status social saja,,,apakah ia sudah patut dikatakan manusia berfikir, apakah ia sudah menjadi khalifah yang memberi pendefinisian tentang nilai kehidupan, apakah ia sudah beramal karena suatu ibadah atau nilai kasihan bahkan kesombongan social,,,apakah hokum gerak usaha adalah kekuatan mutlak manusia dalam mencapai kesuksesan…apakah semua kesuksesan akan diterjemahkan dengan pelabelan manusia2 bumi,,,,dengan titel2 ciptaan manusia didunia…

Aku menyatakan IYA,,,,karena itulah yang kusaksikan saat ini,,,,tapi aku yakin,,,upaya Einstein menemukan teori relativitas bukan supaya disebut seorang ilmuwan, Newton menemukan teori gravitasinya juga bukan karena ingin dipandang sebagai penemu,,,bahkan Aristoteles,,,dan semua pemikir lainnya jauh daripada status social yang diagung2kan pada masa itu,,,semua mereka lakukan karena mereka memahami diri sebagai makhluk yang berfikir dan hidup,,,itu artinya mereka terus mencari dan menggunakan pemikirannya,,,berfikir sejauh-jauhnya bahkan dengan hasil pemikiran yang tidak bisa dimengerti oleh teman pada masanya,,,tapi pergulatan pemikiran yang jauh membuat mereka menghasilkan karya,,,dan itu sesungguhnya adalah sunnah kehidupan, pada dasarnya itu adalah pemknaan akan kehidupan, flashback lagi dengan realita; berkarya untuk dicinta, berkarya untuk dipuja, berkarya untuk harta,,,atau karena apa???....

Kebisuan Micheal Foucoult menamakan dirinya atas apapun adalah satu bukti bahwa ia adalah salah satu pemikir yang tidak mau disibukkan dengan label2 atau titel2,,,,ia menguasai sejarah, filsafat, psikologi, psikiatri, logika, social, politik, budaya bahkan hampir seluruh konsep keilmuan, tapi ia menantang untuk disebut sebagai seorang ilmuwan, sejarahwan, filsuf, psikolog, sosiolog,,,bukan itu esensi yang ingin diraihnya,,,dan tidak penting manusia lain mengenalnya dengan labelan2 yang demikian itu,,,,tapi apakah kita sudah sepaham atau sudah mencapai klimaks pemikirannya yang terkadang ganjil, tidak familiar bahkan terkesan ngaur, dan sebaliknya terkadang kita langusng mengagumi pemkirananya karena kita lagsung sepaham dengan pendefinisannya,,,

Itulah kenyataan yang berbanding terbalik saat ini, pemikir terdahulu tidak pernah membatasi diri ingin menjadi akademisi, praktisi, dan sebagainya, tapi mereka terus menggunakan pemikirannya untuk memakanai hakikat kehidupan bumi, sehingga tanpa mengagungkan diri sebagai khalifah tapi mereka sudah berhasil memakmurkan kehidupan dengan konsep keilmuannya,

Mereka tidak membatasi diri hanya ingin menjadi filsuf, tapi filsafat itu adalah bagian dari cara mereka untuk terus berfikir dan menemukan pemaknaan yang sistematis. Masihkah aku harus sibuk membatasi diri dari memahami hidup hanya dengan konsen pada beberapa hal saja???,,,bagaimana para manusia saat ini hanya memahami kehidupan dengan konsen yang begitu dangkal…maka benar semakin jauhlah dunia saat ini dari pemikir2 handal,,,karena semua terbatasi hanya dengan beberapa literature yang dikuasainya,,tanpa mau berfikir seluas-luasnya dan cenderung menutup diri dari hal2 lain karena lagi2 kembali dihantui dengan konsen keilmuan yang bersifat pencarian status social semata,,,bukan esensi yang mutlak dari pemaknaan hidup sebagai manusia yang berfikir dan berkarya…

Masihkah harus ada pertanyaan berkarya untuk siapa??

Atau masihkan harus ada jawaban berbuat untuk umat,,,,tak penting sama sekali pertanyaan dan jawaban tersebut, karena semua akan bersatu dalam satu makna ketika diri mampu terus actual dan peka terhadap reaksi kehidupan.

Alur Kebijakan UN dan Pro-Kontra-nya

Sebuah catatan ringan dan kritis oleh Ninin Herlina

Segala kebijakan tentunya melahirkan pro dan kontra. Paling penting adalah bagaimana meminimalisir kecerobohan pembuat kebijakan dalam menanggapi pro-kontra tersebut, Sehingga kita tidak lagi mendengar persepsi-persepsi yang tumpang tindih dari policy maker, yakni sebagaimana pernah diisukan oleh Menteri Pendidikan tentang penghapusan UN. 

Bagaimanapun, keputusan dari setiap kebijakan adalah hal valid yang dinilai memberi manfaat besar terhadap kemajuan pembangunan bangsa. Nah, apabila policy makernya gentar dengan segala kontraversi sehingga menjadi gamang dalam menjalankan misi, maka tidak pantasalah dia menjadi pembuat kebijakan, kira-kira begitulah bahasa ekstrimnya.

Tentunya setiap kebijakan dihasilkan dari upaya analisis SWOT yang matang. Pemerintah senantiasa berupaya menciptakan segala macam kebijakan yang mengarah pada kemajuan bangsa, Iklim persaingan global menuntut Indonesia untuk lebih cepat dalam mengejar ketertinggalan, demikan kasusnya dengan Ujian Nasional yang notabenenya standar kelulusan yang diterapkan di Indonesia tergolong rendah dibanding dengan Negara-negara lainnya. Sehingga pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki kinerja demi perubahan kearah yang lebih baik setiap tahunnya. Peningkatan standar kelulusan yang terus meningkat setiap tahunnya adalah salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi pendorong terhadap para pelajar dalam mengasah kemampuannya untuk terus bersaing dan meningkatkan kemampuan dengan belajar yang giat dan tekun.

Pada dasarnya, konsep belajar yang mesti ditanamkan dalam diri siswa atau pelajar adalah bahwa belajar itu adalah kebutuhan mereka. Sudah semestinya mereka menggunakan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Jadi, menurut saya tidak ada itstilah UN itu tidak fair, karena hanya diukur dari kegiatan ujian yang hanya berlangsung 4 atau 3 hari, atau dengan alasan soal-soal ujian yang disamaratakan seluruh Indonesia sementara sistim belajar dan kualitas pengajaran pasti berbeda setiap daerah apalagi jika membandingkan daerah pelosok dengan ibukota Negara. Sehingga alasan-alasan klasik itu semua menjadi pemicu terjadinya berbagai kontraversi dari dulu sampai sekarang. Padahal, sesungguhnya pemerintah mesti terus didukung untuk mengejar keunggulannya dalam persaingan global, khususnya dalam hal pendidikan. 

Sangat miris ketika Indonesia selalu dicap memiliki rating kualitas pendidikan kategori rendah, padahal kita bisa menyaksikan bahwa sebenarnya anak-anak Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk maju yakni dalam berbagai olimpiade anak Indonesia masih bisa bersaing dengan dunia luar, tapi kenapa kita justru mengkerdilkan diri dengan menghujat segala kebijakan dengan menyebutnya sebagai pemicu keruntuhan mental siswa, membunuh karakter siswa dan sebagainya.

Namun, dalam hal ini pemerintah juga perlu menganalisis kembali sebagai bahan evaluasi sejauh mana implementasi UN membantu bangsa dalam menciptakan generasi-genrasi berkarakter, apabila pelaksanaan UN hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa evaluasi yang jelas terhadap perkembangan peserta didik, maka kesimpulannya adalah pendapat-pendapat khalayak yang digeneralkan oleh policy maker sendiri, yaitu implementasi UN sama sekali tidak penting, karena memang kenyataannya tidak ada pengaruh positif yang dirasakan masyarakat selama ini. 

Pelaksanaan UN cukuplah menjadi ajank pemerintah dalam unjuk kebolehan di tingkat kompetensi global, sementara ditilik dari dalam semakin amburadul, yakni dengan ditemuinya berbagai kecurangan massif baik ditingkat lokal maupun nasional. Maka, masihkah kita bertanya, pentingkah UN?, sama halnya kita bertanya masih pentingkah Pendidikan?. Karena esensi UN adalah salah satu indicator dalam menghadapi kelulusan, tentunya semua anak bisa mempersiapkan diri dengan penuh kesungguhan, ketekunan dalam belajar serta diiringi doa yang kuat.

Namun realita selanjutnya adalah sifat manusia yang digerogoti oleh keinginan untuk instant success, sehingga esensi daripada ikhtiar sama sekali tidak menjadi ukuran dalam kehidupan. Padahal kalau mau jujur semua hasil sudah ditentukan Tuhan tapi sejauh mana kita belajar untuk meningkatkan dan memaksimalkan usaha. Dunia pendidikan saat ini hanya menjadi sebatas tempat berkumpul dan mencari legalitas intelektual dan masa bodo dengan kualitas emosional generasi, sehingga banyak dijumpai anak-anak sekolah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan hura-hura daripada belajar. UN pun sudah tidak menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas belajar, karena kehidupan hedon sepertinya makin dinikmati oleh generasi bangsa kita saat ini.

Untuk para pembuat kebijakan, maka bersikap tegaslah dalam menjalankan visi pembangunan bangsa, harus ada upaya evaluasi dalam melihat kesuksesan suatu kebijakan, bukan pula harus menjadikan kebijakan sebagai suatu trial and error. Beberapa hal yang mesti dievaluasi adalah:

1. Pemaknaan pendidikan itu sendiri bagi tenaga pendidik, karena banyak dijumpai para pendidik yang menjadikan sekolah sebagai tempat  showing new style atau just transfer knowledge setiap harinya, sehingga tidak ada perhatian khusus dengan perkembangan belajar peserta didik.  

2. Pentingnya memahami pola evaluasi dan bentuk evaluasi dalam dunia pendidikan, Dalam hal ini, pelaksanaan UN dianggap sesuai dalam mengukur kemampuan siswa untuk kelulusan, karena proses belajar selama tiga tahun hanya dites dengan sejumlah soal-soal saja, dari segi kognitif adalah hal yang absah, mengingat etika dalam evaluasi pendidikan juga sangat memperhatikan bias atau subjektifitas, sehingga pengukuran dengan soal-soal UN dinilai tepat. Berbicara dengan komponen pembelajaran lainnya, misalnya afektif dan psikomotorik, maka indikatornya adalah pribadi (soft skill) yang tergambar dalam personnya.  

3. Sistem kebijakan yang ramah terhadap lingkungan pendidikan senusantara. Karena tidak fair juga kalau pemerintah sibuk membuat kebijakan dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan, sementara pembenahan dari dalam tidak sesuai, maka penting sekali untuk meninjau aspek-aspek kearifan lokal untuk membangun suatu daerah, artinya pemerintah juga harus memberi wewenang kepada para sekolah atau dinas pendidikan dalam menyusun kebijakan lokal. Misalnya, UN merupakan standar kelulusan tingkat nasional, namun dalam tingkatan regional pemerintah daerah memiliki suatu ketetapan dalam melihat ukuran kelulusan atau keberhasilan peserta didiknya, yakni sesuai dengan kebutuhan daerah. 

Karena melihat kenyataannya, tidak semua juga peserta didik akan bersaing ke tingkatan nasional, maka segala macam kebijakan tentunya harus diciptakan demi kemaslahatan ummat. Wallahu’alam.  

28 April 2011