Minggu, 11 Maret 2012

Anggie Setia Ariningsih: Menyogok Preman Demi Mengajar Anak Jalanan

Oleh: A. Bimo Wijoseno

Gadis itu masih remaja. Namun, pemikirannya terhadap pendidikan anak-anak berkekurangan sudah begitu matang. Ia menyadari, pendidikan salah satu modal utama bagi seseorang demi menggapai masa depan yang berhasil. Karenanya, ia rela menyogok preman dengan uang agar diberi kesempatan mengajar anak-anak jalanan. Anggie Setia Ariningsih, nama gadis itu.


Dari ruang serbaguna Kelurahan Menteng Atas, Jakarta Selatan, terdengar suara riuh rendah. Pagi itu puluhan bocah berumur 3 - 5 tahun berkumpul di tempat itu.


"Mbak Anggi, mbak Anggi," seru seorang dari mereka sembari mengacungkan tangan. Yang dipanggil menoleh, lalu melempar senyum. Anggi, begitu ia biasa dipanggil, pagi itu memang menjadi "bintang".


Melihat dandanannya, Anggi tak beda dengan kebanyakan anak muda kota besar lainnya. Usianya pun baru 20 tahun. Namun, di usia semuda itu, ia sudah melakukan banyak hal berbeda dibandingkan dengan rekan-rekan sebayanya. Saat kawula muda lain lebih suka jalan-jalan ke mal, ia malah memilih mengajar anak-anak berkekurangan.


"Tidak mudah mengumpulkan anak-anak itu untuk diajak belajar bersama. Padahal tidak dipungut biaya," katanya. Maklum, orangtua mereka kebanyakan tinggal di daerah kumuh. Kebanyakan bekerja sebagai pemulung dan pemungut sampah.


Bayar preman


Saat pertama Anggi mengunjungi anak-anak asuhnya awal Januari lalu, mereka tampak tak bersahabat. Salah satu warga bahkan bertanya, "Mau apa ya? Dari partai apa ya?"

Anggi harus bersusah payah menjelaskan keinginannya berbagi. Belakangan, setelah sikap mereka lebih bersahabat, Anggi jadi tahu penyebab ketakutan mereka. "Maaf, kita mesti waspada sama orang luar. Kami takut, anak-anak kami diculik dan dijual," imbuh salah satu dari mereka.



Suatu malam, dibantu Atun, salah seorang remaja putri di kampung itu, Anggi mendatangi tiga rumah penduduk. Sebelumnya, Anggi sudah meminta izin kepada lurah setempat, Samsul Bahri. Bukan hanya mengizinkan, Samsul bahkan menyediakan tempat untuk belajar. "Padahal tadinya saya cuma mau meminjam lapangan parkir kelurahan," kisah Anggi. Akhirnya, terkumpullah 45 anak yang mau belajar bersama Anggi.


Kegiatan di Menteng Atas bukan yang pertama dan satu-satunya buat Anggi. Sebelumnya, ia pernah membuat kelompok belajar anak jalanan di kolong jembatan Grogol, yang kini terhenti karena Anggi kesulitan mengatur waktu mengajarnya. Ada pengalaman menarik sebelum ia memulai aktivitas di kolong jembatan. Waktu itu (tahun 2000), bus kota yang ditumpangi Anggi melewati kolong jembatan Grogol.


"Aku dalam perjalanan menuju lokasi lomba debat, mewakili sekolahku, SMK Negeri 8, Pejaten Pasar Minggu," tuturnya. Tiba-tiba, dari jendela bus, ia melihat beberapa anak jalanan seusia anak SD berkeliaran di sana. "Kapan ya mereka sekolah, atau malah tak sempat sekolah?" cetusnya dalam hati. Anggi lalu turun dari bus dan menghampiri mereka.


"Kalian mau sekolah enggak?" tanyanya.

"Ah, bohong!" jawab mereka ketus.

Meski tak disambut ramah, Anggi tak putus asa. "Kita ketemu di sini lagi besok pagi ya?" ajaknya.
Anak-anak itu diam sebentar. "Enggak, ah. Takut ketahuan sama Abang (preman - Red.)."
"Bikin aja enggak ketahuan," timpal Anggi.



Esok harinya, Anggi membawa sekantong permen dan sebotol sampo. Ia tidak langsung mengajak mereka belajar. Namun, anak-anak jalanan itu dimintanya keramas.


"Minggu depan kita ketemu lagi ya?" pinta Anggi.


Tak ada jawaban pasti dari mulut mereka. Namun, minggu berikutnya, Anggi menepati janji. Ketika mengetahui Anggi datang, barulah mereka tersenyum. "Kok senyum?" tanya Anggi keheranan. "Lu ternyata enggak bohong," jawab mereka polos.


Menjadi anak muda berbakti seperti Anggi memang banyak menhadapi cobaan. Ketika mengajar para anak jalanan itu, misalnya, ia pernah dihampiri preman. "Buat apa lu di sini?" tanya mereka. Dengan berani Anggi menjawab, cuma ingin mengajar anak-anak jalanan itu membaca. "Sejujurnya, aku takut juga menghadapi preman-preman itu," ujarnya buka rahasia.


Untungnya, penjelasan Anggi bisa mereka terima. Namun, salah seorang preman bilang, anak-anak jalanan itu harus menghasilkan duit. "Dalam satu-dua jam mereka bisa menghasilkan duit seribu sampai dua ribu. Jadi, buat apa belajar membaca," kata si preman. "Oke, kalau begitu aku bayar. Ini uang untuk beli rokok, dan yang ini buat mabuk," tegas Anggi. Sim salabim, urusan beres. Anggi pun dapat mengajar kembali. Sejak itu, ia jarang diganggu preman lagi.


Modal cas-cis-cus


Imbalan materi jelas bukan tujuan Anggi memenuhi panggilan hatinya untuk berbagi ilmu. Siapa yang mau menggaji guru anak-anak pemulung atau anak-anak jalanan? Anak pertama dari dua bersaudara, buah pasangan Aris Sukoso (42) dan Eni Purwati (43) ini justru harus merelakan sebagian gajinya sebagai office manager di sebuah perusahaan minyak asing untuk membiayai semua aktivitasnya. Setidaknya, ia merogoh Rp 100.000,- per sekali pertemuan untuk membeli alat tulis, permen, dan hadiah-hadiah lain.


"Karier" mengajar Anggi mulai menanjak sejak menang lomba debat bahasa Inggris tingkat nasional tahun 2000. Saat itu ia ditawari Depdiknas untuk menularkan kemampuannya berbahasa Inggris kepada siswa-siswa lain. "Pak Dirjen (Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah - Red.) bertanya pada saya bagaimana caranya fasih berbahasa Inggris, karena kalau mengandalkan pelajaran di sekolah, jelas tidak mungkin," terawang Anggi. "Saya jawab, ya belajar sendiri."


Menurut Anggi, pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia kurang lengkap. Siswa lebih banyak diajari menulis ketimbang berbicara. Padahal, bahasa Inggris digunakan tidak hanya untuk menulis, tapi juga berbicara. Itu sebabnya, sejak SMP Anggi gemar mengumpulkan bahan-bahan yang berkenaan dengan bahasa Inggris. Bahan itu ia kumpulkan dari majalah, buku, koran, TV kemudian dikumpulkan jadi satu modul.


Anggi juga terbiasa bergaul dengan orang asing, karena ibunya sekretaris di sebuah perusahaan asing. "Modul pengajaran" bahasa Inggris ala Anggi akhirnya sampai ke tangan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas. Gayung bersambut. "Beliau menawari saya untuk berbagi ilmu dengan siswa-siswa lain," jelasnya. Awalnya, Anggi ditugasi mengajar bahasa Inggris di 30 Sekolah Menengah Kejuruan di Jakarta. Senin sampai Jumat, ia berkeliling ke sekolah-sekolah itu. Ia hanya sempat masuk sekolah di SMKN 8, Jakarta pada Sabtu saja.


Profesi mulia itu dia jalani selama dua tahun. Ia makin sibuk, setelah program tidak hanya dijadwalkan di Jakarta, tapi juga ke seluruh pelosok Jawa. "Saya menjadi semacam motivator untuk teman-teman yang lain," sambungnya. Untuk kerja kerasnya itu, Anggi yang masih tercatat sebagai murid sekolah menengah mendapat insentif Rp 100.000,- per bulan. Hebatnya, setamat SMK, gadis ramah yang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi office manager perusahaan minyak itu langsung ditawari Depdiknas menjadi pegawai negeri.


Namun, Anggi punya pertimbangan lain, saat menolak tawaran Depdiknas. "Lebih baik aku mengajar orang yang tidak beruntung, karena tidak ada dana buat bersekolah, tapi ada kemauan untuk belajar," terangnya. Anggi melihat banyak sekali siswa-siswi di sekolah mempunyai orangtua yang mampu membiayai sekolah mereka sampai jenjang tertinggi, tapi si anak sendiri kemauan belajarnya sepertinya kalah dengan anak-anak jalanan.


Pada saat bersamaan, ibunya menawarkan pekerjaan sebagai sekretaris di perusahaan asing yang bergerak di bidang perminyakan. Meskipun belum mengantungi ijazah, Anggi langsung mengiyakan. "Modal saya sertifikat penghargaan, list of achievement dan lancar berbahasa Inggris," tuturnya sembari mesem. Hebatnya, Anggi langsung diterima.


Ditentang orangtua


Sejak bekerja, Anggi hanya mengajar pada Sabtu dan Minggu. Jadwalnya memang sangat padat. Tak heran kalau ia pernah terserang penyakit parah. Ia mengalami penyumbatan pembuluh darah di otak, yang membuat Bu Guru muda ini lumpuh. "Kalau kumat, aku jedotin aja kepala ke tembok. Serangannya bisa sampai 30 menit. Terutama ketika marahku memuncak, tapi tidak tersalurkan," ungkapnya terbata-bata.


Anggi sempat lumpuh selama tiga bulan. Dua minggu sekali ia harus disuntik oksigen di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Ia juga menjalani puasa mutih. Setelah setahun, kesehatan Anggi akhirnya berangsur pulih. Anggi mengakui, sebenarnya kadar leukosit dalam darahnya juga tidak seimbang. Ia terserang leukimia. "Namun, aku tidak mau mengganggap penyakitku leukimia," ujarnya mantap. Sebab Anggi yakin, ia tidak seperti itu dan bisa sehat seperti manusia normal.


Selain mengajar, semangat belajar Anggi pun tak pernah surut. "Saya kerja buat biaya kuliah," jelasnya. Sebenarnya, tahun 2003 ia sudah kuliah di Universitas Nasional. Namun, jadwalnya sering tidak klop dengan ritme kerja di kantor. "Aku terlambat terus, sampai akhirnya memutuskan keluar saja," ungkap Anggi. Jurusan Sastra Inggris ia ambil dengan pertimbangan agar mudah dicerna. Ia takut otaknya tidak mampu.


Kekhawatiran juga datang jika kelak ia tak dapat lagi berdiri di depan "kelas". Itu sebabnya, Anggi mulai menularkan semangatnya kepada sejumlah teman. "Saya mengajak mereka menemani mengajar atau menjadi donatur," bilangnya lirih. Ia berharap, kelak akan muncul anggi-anggi baru yang lebih hebat. Ia juga ingin ada sekolah gratis dan berkualitas bagi semua orang di Indonesia.


Di usia yang relatif sangat muda itu, Anggi sudah tampak luar biasa bijaksana. Bersusah payah mengajar anak jalanan dan orang miskin, tanpa digaji, bahkan merogoh kocek sendiri, tak banyak orang mau melakoni. "Jika kita mengerjakan sesuatu hanya karena imbalan uang, tidak akan pernah sempat menabung. Menabung di sini, tidak ada urusannya dengan uang, tapi rasa. Tepatnya, kepuasan batin. Itu juga sekaligus menjadi obat buat penyakitku," imbuhnya.


Sayangnya, kegiatan sukarela ini masih ditentang oleh orangtuanya. Alasannya sangat masuk akal, berkaitan dengan kesehatan Anggi. "Kedua orangtuaku begitu protektif, terutama ibu. Makanya, aku sering berbohong. Aku bilang pergi ke kantor, padahal mengajar. Soalnya, apa yang aku kerjakan ini tidak memberi nilai lebih buat keluarga dan diriku sendiri. Malah mengeluarkan dana," ucap Anggi serius.


Hal itu kadang terasa mengganjal di hati Anggi. "Namun, suatu saat nanti, aku akan bilang apa yang aku lakukan ini merupakan pilihan bebasku," janjinya kepada diri sendiri.


Tambahan


Anggie juga pernah diundang pada sebuah talkshow di KBR 68H Jakarta dalam acara "Guru Kita" beberapa tahun lalu. Saat itu adalah peringatan Hari Hartini, ia diundang khusus untuk merepresentasikan sosok Kartini di abad 21. Apa yg ia ceritakan nyaris sama dengan cerita di atas. Dengan adanya talkshow tersebut, bertambah juga orang yang berempati dengan apa yang telah dilakukan Anggei. 

0 komentar:

Posting Komentar