Rabu, 01 Februari 2012

Alur Kebijakan UN dan Pro-Kontra-nya

Sebuah catatan ringan dan kritis oleh Ninin Herlina

Segala kebijakan tentunya melahirkan pro dan kontra. Paling penting adalah bagaimana meminimalisir kecerobohan pembuat kebijakan dalam menanggapi pro-kontra tersebut, Sehingga kita tidak lagi mendengar persepsi-persepsi yang tumpang tindih dari policy maker, yakni sebagaimana pernah diisukan oleh Menteri Pendidikan tentang penghapusan UN. 

Bagaimanapun, keputusan dari setiap kebijakan adalah hal valid yang dinilai memberi manfaat besar terhadap kemajuan pembangunan bangsa. Nah, apabila policy makernya gentar dengan segala kontraversi sehingga menjadi gamang dalam menjalankan misi, maka tidak pantasalah dia menjadi pembuat kebijakan, kira-kira begitulah bahasa ekstrimnya.

Tentunya setiap kebijakan dihasilkan dari upaya analisis SWOT yang matang. Pemerintah senantiasa berupaya menciptakan segala macam kebijakan yang mengarah pada kemajuan bangsa, Iklim persaingan global menuntut Indonesia untuk lebih cepat dalam mengejar ketertinggalan, demikan kasusnya dengan Ujian Nasional yang notabenenya standar kelulusan yang diterapkan di Indonesia tergolong rendah dibanding dengan Negara-negara lainnya. Sehingga pemerintah terus berupaya untuk memperbaiki kinerja demi perubahan kearah yang lebih baik setiap tahunnya. Peningkatan standar kelulusan yang terus meningkat setiap tahunnya adalah salah satu kebijakan yang diharapkan menjadi pendorong terhadap para pelajar dalam mengasah kemampuannya untuk terus bersaing dan meningkatkan kemampuan dengan belajar yang giat dan tekun.

Pada dasarnya, konsep belajar yang mesti ditanamkan dalam diri siswa atau pelajar adalah bahwa belajar itu adalah kebutuhan mereka. Sudah semestinya mereka menggunakan waktu sebaik mungkin untuk belajar. Jadi, menurut saya tidak ada itstilah UN itu tidak fair, karena hanya diukur dari kegiatan ujian yang hanya berlangsung 4 atau 3 hari, atau dengan alasan soal-soal ujian yang disamaratakan seluruh Indonesia sementara sistim belajar dan kualitas pengajaran pasti berbeda setiap daerah apalagi jika membandingkan daerah pelosok dengan ibukota Negara. Sehingga alasan-alasan klasik itu semua menjadi pemicu terjadinya berbagai kontraversi dari dulu sampai sekarang. Padahal, sesungguhnya pemerintah mesti terus didukung untuk mengejar keunggulannya dalam persaingan global, khususnya dalam hal pendidikan. 

Sangat miris ketika Indonesia selalu dicap memiliki rating kualitas pendidikan kategori rendah, padahal kita bisa menyaksikan bahwa sebenarnya anak-anak Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk maju yakni dalam berbagai olimpiade anak Indonesia masih bisa bersaing dengan dunia luar, tapi kenapa kita justru mengkerdilkan diri dengan menghujat segala kebijakan dengan menyebutnya sebagai pemicu keruntuhan mental siswa, membunuh karakter siswa dan sebagainya.

Namun, dalam hal ini pemerintah juga perlu menganalisis kembali sebagai bahan evaluasi sejauh mana implementasi UN membantu bangsa dalam menciptakan generasi-genrasi berkarakter, apabila pelaksanaan UN hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa evaluasi yang jelas terhadap perkembangan peserta didik, maka kesimpulannya adalah pendapat-pendapat khalayak yang digeneralkan oleh policy maker sendiri, yaitu implementasi UN sama sekali tidak penting, karena memang kenyataannya tidak ada pengaruh positif yang dirasakan masyarakat selama ini. 

Pelaksanaan UN cukuplah menjadi ajank pemerintah dalam unjuk kebolehan di tingkat kompetensi global, sementara ditilik dari dalam semakin amburadul, yakni dengan ditemuinya berbagai kecurangan massif baik ditingkat lokal maupun nasional. Maka, masihkah kita bertanya, pentingkah UN?, sama halnya kita bertanya masih pentingkah Pendidikan?. Karena esensi UN adalah salah satu indicator dalam menghadapi kelulusan, tentunya semua anak bisa mempersiapkan diri dengan penuh kesungguhan, ketekunan dalam belajar serta diiringi doa yang kuat.

Namun realita selanjutnya adalah sifat manusia yang digerogoti oleh keinginan untuk instant success, sehingga esensi daripada ikhtiar sama sekali tidak menjadi ukuran dalam kehidupan. Padahal kalau mau jujur semua hasil sudah ditentukan Tuhan tapi sejauh mana kita belajar untuk meningkatkan dan memaksimalkan usaha. Dunia pendidikan saat ini hanya menjadi sebatas tempat berkumpul dan mencari legalitas intelektual dan masa bodo dengan kualitas emosional generasi, sehingga banyak dijumpai anak-anak sekolah yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan hura-hura daripada belajar. UN pun sudah tidak menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas belajar, karena kehidupan hedon sepertinya makin dinikmati oleh generasi bangsa kita saat ini.

Untuk para pembuat kebijakan, maka bersikap tegaslah dalam menjalankan visi pembangunan bangsa, harus ada upaya evaluasi dalam melihat kesuksesan suatu kebijakan, bukan pula harus menjadikan kebijakan sebagai suatu trial and error. Beberapa hal yang mesti dievaluasi adalah:

1. Pemaknaan pendidikan itu sendiri bagi tenaga pendidik, karena banyak dijumpai para pendidik yang menjadikan sekolah sebagai tempat  showing new style atau just transfer knowledge setiap harinya, sehingga tidak ada perhatian khusus dengan perkembangan belajar peserta didik.  

2. Pentingnya memahami pola evaluasi dan bentuk evaluasi dalam dunia pendidikan, Dalam hal ini, pelaksanaan UN dianggap sesuai dalam mengukur kemampuan siswa untuk kelulusan, karena proses belajar selama tiga tahun hanya dites dengan sejumlah soal-soal saja, dari segi kognitif adalah hal yang absah, mengingat etika dalam evaluasi pendidikan juga sangat memperhatikan bias atau subjektifitas, sehingga pengukuran dengan soal-soal UN dinilai tepat. Berbicara dengan komponen pembelajaran lainnya, misalnya afektif dan psikomotorik, maka indikatornya adalah pribadi (soft skill) yang tergambar dalam personnya.  

3. Sistem kebijakan yang ramah terhadap lingkungan pendidikan senusantara. Karena tidak fair juga kalau pemerintah sibuk membuat kebijakan dengan alasan meningkatkan mutu pendidikan, sementara pembenahan dari dalam tidak sesuai, maka penting sekali untuk meninjau aspek-aspek kearifan lokal untuk membangun suatu daerah, artinya pemerintah juga harus memberi wewenang kepada para sekolah atau dinas pendidikan dalam menyusun kebijakan lokal. Misalnya, UN merupakan standar kelulusan tingkat nasional, namun dalam tingkatan regional pemerintah daerah memiliki suatu ketetapan dalam melihat ukuran kelulusan atau keberhasilan peserta didiknya, yakni sesuai dengan kebutuhan daerah. 

Karena melihat kenyataannya, tidak semua juga peserta didik akan bersaing ke tingkatan nasional, maka segala macam kebijakan tentunya harus diciptakan demi kemaslahatan ummat. Wallahu’alam.  

28 April 2011

0 komentar:

Posting Komentar