Kamis, 02 Februari 2012

Hanya Sepasang Sepatu

Catatan ringan oleh Mohamad Sahril.

Cerita ini membuat saya tersentak dan memulai lagi rutinitas, menulis sesuatu hal yang menghantui pikiran. Suatu ketika di zaman kolonial di Hindia (Jawa dan sekiratnya), sebuah berita diturunkan dalam satu-satunya koran pertama milik kaum pribumi di Bandung. Namaya adalah ‘Medan’, yang belakangan dikenal menjadi ‘Medan Prijai’, sebagai harian pertama yang dimiliki oleh kaum pribumi dan menggunakan bahasa Melayu.

Beritanya sangat sederhana tapi menarik untuk dicermati lebih jauh. Apalagi jika dikaitkan dengan gaya hidup orang yang akhir-akhir ini semakin memeprtanyakan esensi suatu benda yang melekat pada tubuh manusia sebagai pakaian, dan dimaksudkan sebagai simbol atau identitas budaya dan jati diri.

Begini ceritanya; hanya karena sepasang sepatu dan pakaian layaknya orang Eropa, seorang pemuda dalam berita Koran itu dianiaya oleh beberapa orang yang tak dikenal. Dalam berita itu diketaui si korban bernama Abdoel Moeis. Sepedanya dirusaki, bajunya disobek-sobek dan sepasang sepatunya entah kemana. Hilang. Sebagai pria dari kalangan terdidik, ia pun mengadukan bencana atas dirinya itu ke Polisi. Dan polisi tak menggubris masalah Moeis. Dengan susah payah dalam kondisi tak sepenuhnya sadar, pemuda itu digotong ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan. Secara kebetulan, seorang karyawan yang sesungguhnya bukan wartawan di harian Medan Prijai menulisnya. Dan berita itu menimbulkan reaksi dari Polisi.

Di suatu hari pada jam kantor, seorang polisi dengan pakaian dinas lengkap mendatangi kantor redaksi dan mengajukan keberatan terhadap pemberitaan itu. Walaupun sesungguhnya hanya sepasang sepatu, tapi buntutnya sangat menyudutkan pihak kepolisian, karena tak menggubris aduan pemuda itu. Sempat terjadi adu mulut antara polisi itu dengan pemimpin redaksi. Karena faktanya jelas dan saksi yang sekalian penulis berita itu juga bersedia diajukan ke pengadilan jika diperlukan. Akhirnya polisi itu kembali dengan penyesalan dan perasaan seperti ditelanjangi.

Situasi menjadi terbalik. Pengusutan justeru dilakuakan pada pelaku. Bukan pada karyawan Medan Prijai. Setelah ditelusuri, diketahui dalang dari pengeroyokan itu adalah Sang Patih Bandung. Pertentangan hukum juga sempat dikait-kaitkan dengan strata sosial seseorang. Sebab pada zaman itu, kalangan priyai tidak bisa diajukan ke pengadilan pribumi. Mereka punya aturan sendiri. Sang Pati tak disenuh pengadilan, begitu juga dengan Pimred Medan Priyai, karena memang ia adalah anak seorang Bupati.

Meski situasi pengadilan berlangsung alot dengan fakta-fakta terbaru, sasus di masyarakat juga menciptakan pro-kontra. Ada sebagian kalangan yang membenarkan pengeroyokan dengan alasan identitas. Tak pantas seorang pribumi bersepatu dan berpakaian layaknya Eropa. Soal menggunakan pakaian Eropa dianggap sebuah pelecehan terhadap adat dan nenek moyang. Mereka menganggap bahwa seorang pribumi harusnya berpenampilan layaknya nenek moyangnya dulu. Seolah perkembangan zaman hanyalah milik mereka yang pemilik dan memashurkan peradaban sendiri. Tapi sayangnya, alasan masyarakat yang muncul ketika itu bukan berupa penanda atas simbol kultural melalui mode.

Gerakan penyokong Abdoel Moeis hanya sedikit, hanya dari kalangan terpelajar. Apa arti dan guna sebuah sepatu? Tidak lain dari pakaian. Kalau orang berpakaian lain, apa tubuh dan jiwanya juga berubah secara mendadak? Sekiranya orang telanjang saat mandi di kali dan tidak menggunakan pakaian, apakah ia lantas menyalahi aturan leluhur dan tidak beragama? Apa pun pakaian yang ia gunakan, bukankah ia tetap telanjang bulat di dalamnya?

Pemberitaan Medan Prijai itu menciptakan polemik di tengah masyarakat, seiring banyaknya tanggapan yang muncul tentang kasus tersebut, terutama soal pakaian dan sepsang sepatu. Dan di bagian lain, ketiga penganiaya dipenjarakan. Sementara Sang Patih tak disentuh sama sekali oleh hukum.

Dari polemik yang terjadi selama beberapa minggu, besoknya para pemuda langsung menyerbu tokoh sepatu. Mereka memilih sesuka hati dan seleranya untuk mengenakan yang mana yang menurut mereka baik. Mulai saat itu, sepatu bukan lagi hanya digunakan kalangan Eropa di Hindia ataupun peranakan. Asal punya uang, bisa saja pribumi menggunakannya. Dan tokoh-tokoh sepatu pun meraup keuntungan dalam waktu singkat.

Disaruikan dari roman Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer

1 komentar:

Kisah ini terjadi di sebuah kampus negeri di wilayah Jawa Barat sekitar tahun 2006 yang lalu ketika seorang mahasiswa semester 2 Bahasa Inggris mengikuti mata kuliah grammar yang dibimbing oleh seorang dosen lulusan Kanada dengan gelar M.Ed. (Master of Education). Perdebatan tersebut berawal dari rasa penasaran si mahasiswa tentang kebenaran gelar yang disandang dosen tersebut. Mahasiswa tersebut merasa prihatin konon katanya dosen tersebut sangat teliti dalam bidang grammar, sehingga banyak sekali mahasiswa tidak lulus ujian gara-gara tidak bisa grammar. Dengan rasa penasaran tersebut, si mahasiswa mencoba menguji kemampuan dosen lulusan kanada tersebut dengan memberikan pertanyaan yang sangat sederhana. Untuk lebih jelasnya, kira-kira perdebatan tersebut kira-kira seperti ini:

________________________________________________

# Mahasiswa : Pak, pada kalimat I always go home at 1 o’clock, kata home tersebut parts of speechnya sebagai apa?

# Dosen : Noun

# Mahasiswa : Kenapa noun pa?

# Dosen : Karena home menunjuk suatu benda konkret yang bisa dilihat, disebut juga concrete noun.

# Mahasiswa : Kalau itu sebagai noun, berarti kata go adalah verb transitive donk pa?

# Dosen : Loh kok verb transitive? Kata go ya jelas intransitive verb, kata kerja yang tidak membutuhkan object.

# Mahasiswa : Iya pak, benar itu intransitive verb. Namun, jika kata go sebagai intransitive verb, maka tidak mungkin dong pak diikuti oleh noun?

# Dosen : O.. kalau kata go home, jelas beda dengan kata go. Kata go home adalah sebuah idiom, jadi tidak bisa dipisahkan antara keduanya. Yang benar adalah kata go home itu idiom, jadi tetap kedudukan home itu sebagai noun.

# Mahasiswa : Kalau phrase go home itu idiom, mengapa kata home itu sebagai noun pa?

# Dosen : Memang ini adalah anjuran tentang idiom, tidak bisa dipisah satu-satu, kalau dipisah satu-satu ya kata go sebagai intransitive verb dan home tersebut sebagai concrete noun.

# Mahasiswa : oh itu ya pak…. Makasih pak atas jawabannya. (konon, dalam hati mahasiswa tersebut bilang….. Dosen bodoh ga bisa bedain antara noun dan adverb).

# Dosen : You’re welcome (konon, dalam hati dosen tersebut bilang…. Mahasiswa cerdas bikin repot aja)

________________________________________________

Begitulah kira-kira perdebatan dosen bodoh dengan mahasiswa cerdas tersebut. Menurut anda siapakah yang bodoh dan siapakah yang cerdas?

####Untuk itu mari kita analisa pokok perdebatan mereka:####

#Kalimat : I always go home at 1 o’clock

#Phrase : always go home, at 1 o’clock

#Parts of speech:
a. I : Personal Pronoun
b. Always : adverb of frequency, menjelaskan verb go
c. Go : verb intransitive
d. Home :-
e. At : preposition
f. 1 o’clock : noun phrase, object of preposition

# Jika kata home sebagai noun, maka fungsinya sebagai:
a. Subject : terletak diawal kalimat, atau sebelum kata kerja.
Contoh : My home is overthere.
b. Object : terletak setelah kata kerja transitive (transitive verb)
Contoh : the car hit my home (kata hit adalah transitive verb)

Saya kira kedua fungsi noun tersebut cukup menggambarkan bahwa kata home dalam phrase go home bukanlah sebagai noun. Karena jika home dalam phrase go home tersebut sebagai noun, maka dengan sendirinya menghukumi kata kerja (verb) go sebagai transitive verb. Maka jelas hal tersebut sangat aneh dan mustahil.

# Pernah dengar lagu Avril Lavigne yang liriknya seperti ini:
- You held my hand and walk me home………..

#Pernah dengar kalimat:
- I will return home
- Let’s come back home now….

# Maka dengan sangat terpaksa, saya mendukung mahasiswa tersebut bahwa kata home dalam phrase go home bukanlah sebuah noun, melainkan adverb.

# Untuk lebih meyakinkan lagi……. Coba buka kamus monolingual bahasa inggris terbaik kepunyaan sobat……….

artikel ini saya ambil dari :
http://hallurmala.blogspot.com/2011/04/debat-dosen-bodoh-dengan-mahasiswa.html
Debat Dosen Bodoh dengan Mahasiswa Cerdas » ENGLISHINDO
www.englishindo.com
Debat Dosen Bodoh dengan Mahasiswa Cerdas

Posting Komentar