Kamis, 26 Januari 2012

CALON ARANG

Resensi Buku oleh: Mohamad Sahril
Dongeng ini sangat khas dengan cara bertutur Pram dalam tulisan-tulisannya. Simpel dan enteng untuk dibaca. Dari beberapa buku-buku Pram, mungkin Cerita Calon Arang adalah satu di antara yang paling tipis dengan jumlah bahasan 92 halaman dan terdiri dari dua belas bagian. Atau mungkin inilah buku yang paling simpel yang ditulis Pram?

Dongeng yang diangkat dari cerita rakyat Jawa Timur ini berkisah tentang seorang janda kampung. Janda yang gemar melakukan praktek ilmu teluh. Ia senang menganiaya, merampas dan menyakiti. Seperti dalam tulisan-tulisannya yang lain, Pram menuliskan Cerita Calon Arang dengan runut dalam alur maju.

Dalam cerita itu, konon pada jaman dahulu kala, ada sebuah negeri termashur di Jawa timur yang dulunya bernama Daha, dan sekarang menjadi Kediri. Kemashuran negeri itu telah tersebar kemana-mana.
Dalam cerita ini, melalui tangan Pram digambarkan negeri yang damai, rakyatnya sejahtera, tak ada kasus busung lapar, tak ada rusuh pembagian zakat.

Semua warga hidup dalam ketentraman. Namun di sebuah desa di luar kota yang diperintah oleh Raja Erlangga itu, terdapat seorang perempuan tukang sihir. Calon Arang namanya. Hidup bersama seorang putrinya yang cantik namun tak bersahabat.

Tak satu pun warga yang berani menegur sang gadis jika berpapasan. Sebab jika tersinggung, maka sang gadis akan melaporkan itu kepada ibunya yang tukang sihir itu. Maka dalam waktu yang tak terlalu lama, orang itu akan mati akibat mendapat teluhan dari Calon Arang.


Dalam cerita ini, Pram menggambarkan praktek ilmu teluh secara fulgar. “Kalau mereka sedang berpesta tak ubahnya dengan sekawanan binatang buas, takut orang melihatnya, yang jika ketahuan mengintip orang itu akan diseret ke tengah pesta dan dibunuh, dan darahnya akan digunakan untuk berkeramas oleh para pengikut Calon Arang”.

Nyaris seisi negeri dikuasai Calon Arang ketika ia melakukan praktek peneluhan secara besar-besaran. Wabah penyakit menyerang seisi negeri, dan membunuh warga secara masal. Raja pun kewalahan menanganinya, mantra harus dilawan dengan mantra. Maka diutuslah orang dalam istana untuk menemui Empu Baradah di subuah dusun di kaki gunung. Hanya sang empuhlah yang bisa mengalahkan kesaktian Calon Arang. Raja memercayai itu.

Dalam operasi yang sangat cerdik, akhirnya Empu Baradah berhasil menumpas Calon Arang, dengan mempelajari kitab bertuah milik Calon Arang. Dan seisi negeri pun bisa kembali seperti sedia kala. Sang Raja pun berkeinginan untuk menjadi pendeta dan melakukan pertapaan mengikuti jejak Empuh Baradah. Tak ada kejahatan, kepongahan, yang abadi. Melainkan kebaikan (ilmu) yang terus bertahan hingga akhir zaman.

Inilah gaya dongeng. Layak dibaca atau diceritakan kepada anak-anak kita saat mereka tidur di malam hari. Dongeng ini pertama kali naik cetak pada 1954 oleh NV Nusantara. Cetakan keduanya adalah edisi Bulgaria. Kemudian pada tahun 1999 dicetak kembali dalam edisi Indonesia, dan pada 2002 dicetak dalam edisi Singapore oleh Equinox.

Setahun setelah cetakan edisi Singapore, edisi Spanyol kemudian menyusul dicetak oleh Editorial Cruilla. Sementara buku yang saya baca ini adalah cetakan tahun 2006 oleh Lentera Dipantara, dengan ukuran 13×20 cm dan ketebalan 94 halaman ditambah kata pengantar, termasuk cetakan kedua, setelah cetak pertama dengan hak cipta Pram pada tahun 2003.

Berbeda dengan buku-buku yang lain yang ditulis Pram, buku ini simple dan seakan-akan Pram menulisnya hanya menambahkan bumbuh-bumbuh sastra seadanya, tanpa melibatkan unsur subjektifitas. Hampir tak ada yang dilebih-lebihkan kecuali khayal kita yang akan terbang ke suasana desa yang dulu, jauh ke belakang di zaman kerajaan. Jika anda mempunyai waktu luang barang sedikit, tak sampai pada menit ke 120 anda akan hatam dengan dngeng ini.

Menurut Pram dalam pengantarnya, cerita tersebut dikarang pada tahun Caka 1462. Tulisan lamanya ada dua macam, yaitu berasal dari Jawa dan diterjamahkan ke Bahasa Belanda oleh R.Ng.Prbatjaraka dalam Bijdr. Kemudian dimacapatkan (dilagukan) oleh Raden Wiradat dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1931. Sesungguhnya, crita ini ada dua versi, yakni versi Jawa dan Bali. Memang kedua nama ini: Erlangga dan Bharada adalah dua nama yang paling berpengaruh dalam sejarah Hindu Jawa.
Penasaran? Bacalah kan..!

0 komentar:

Posting Komentar