Kamis, 26 Januari 2012

SOE HOK GIE: Sekali Lagi..!

Review buku oleh: Mohamad Sahril
Ini adalah buku non fiksi dengan berbagai sudut pandang penulisnya, tentang sosok pemuda idealis yang hidup pada akhir rezim orde lama. Dengan kegigihan dan keteguhan jiwanya, idealisme yang ia miliki mengantarkan dirinya terjun bersama para mahasiswa lain menjadi demonstran pada tahun-tahun 1960an. Ia adalah Soe Hok Gie, pemuda keturunan Tionghoa yang oleh kawan-kawannya ketika itu sering disebut ‘China kecil’. Kumpulan cerita ini diawali dengan detik-detik terakhir kehidupan Soe Hok-Gie.
Ia menemukan akhir hidupnya di dataran tertinggi pulau Jawa, yakni di Puncak Mahameru gunung Semeru Jawa Timur, pada 16 Desember 1969. Dimana ketika itu ia akan memasuki usianya yang ke 27, ia bertemu maut pada saat-saat sehari menjelang hari jadinya. Kesetiaan dalam pertemanan sebagai sesama pendaki, juga akan diulas tuntas oleh Rudy Badil, kawan Gie yang menjadi saksi dalam tragedi Semeru itu.

Buku berukuran 17,5 X 22 sentimeter ini dikemas elegan dengan bahasa populer dalam tutur-tutur kawan-kawan seangkatan Gie ini, mengulas kisah-kisah penting sang pejuang, waratwan lepas, kolumnis yang juga seorang dosen di Universitas Indonesia.

Sungguh sebuah pengabdian tulus terhadap bangsa, yang luput dari rekaman rentetan catatan-catatan sejarah. Orang bijak pernah berkata bahwa “Sejarah hanyalah milik orang-orang yang menang”. Dan saat itu sebenarnya, kehidupan Gie bukan diperhadapkan pada posisi menang atau kalah. Tapi pada posisi perjuangan membangkitkan semangat pemuda (mahasiswa) menyikapi berbagai fenomena sosial politik, budaya dan ekonomi sebelum dan sesudah bubarnya PKI, dan berakhirnya kekuasaan Soekarno.

Dalam ketebalan 512 halaman, buku ini akan menghantarkan pembacanya pada situasi pertarungan rasa, melalui penggambaran situasi yang terjadi saat Gie aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Semua disajikan langsung dari kedalaman rasa para pelaku sejarah pergerakan mahasiswa Universitas Indonesia, yang tak lain adalah kawan-kawan dekat Gie.

Di halaman-halaman hampir separuh buku ini, anda akan menemukan catatan seorang sahabat yang juga wanita pengagum Gie. Ia adalah Kartini Sjahrir (Ker) yang mengulas kekaguman dan rasa cintanya terhadap Gie dalam sepuluh surat yang ditulis sejak 1968. Bagaimana Gie di mata perempuan (mahasiswa) kala itu, catatan Ker bisa menjadi representasinya.

Ada sedikitnya 25 orang yang juga berkontribusi memberikan catatan-catatan mereka tentang Gie, termasuk Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti dan Nessi Luntungan R, yang menjadi penulis inti dalam buku ini. Dengan gaya deskriptif seperti dalam penulisan feature catatan perjalanan dan catatan dalam buku diary, buku ini akan menghantarkan kita pada sebuah perenungan, bagaimana seseorang bisa menjadi sebegitu idealisnya dengan kesederhanaan yang dimiliki keluarganya, dan itulah yang menghantarkannya pada ketenaran sebagai seorang penulis lepas di koran-koran nasional. Hobinya dalam berdiskusi, membaca, menonton film dan mendengarkan lagu-lagu kerakyatan, membuat Gie semakin kaya dengan pengetahuan tentang dunia luar.

Sesungguhnya, buku ini dibuat sebagai bentuk penghargaan kepada Gie dan kepada kita semua yang masih teguh pada perjuangan melawan tirani yang saat ini samar namun ada. Bergentayangan di balik tirai-tirai rumah para penguasa dalam gaya yang berbeda dengan orde baru maupun orde lama. Bagi Rudy Badil dan kawan-kawan, buku ini sebagai persembahan untuk merayakan 40 tahun tragedi Semeru (1969-2009), dimana Gie dan Idhan Dhanvantari Lubis menutup lembaran-lembaran perjalanan keduniawiannya.

Buku ini penting untuk dibaca sebab banyak hal yang belum sempat diulas pada film Gie yang diagrap oleh Riri Riza. Riri, Nicholas Saputra, dan Mira Lesmana juga turut ambil bagian dalam buku ini. Menyumbangkan catatan mereka untuk memperkaya buku ini dengan prespektif orang yang hidup di masa 1990-2000an.

Bagi saya, ini adalah buku wajib bagi para mahasiswa semester satu yang mau belajar menjadi seorang mahasiswa (aktivis). Bukan untuk diikuti sepenuhnya, tapi hanya sebagai bahan untuk membaca situasi di masing-masing kampusnya. Gie hidup di masa 1960an, anda hidup di masa 2000an, maka berlakulah selayaknya anda sekarang sebagai mahasiswa.

0 komentar:

Posting Komentar