Kamis, 26 Januari 2012

LARASATI


 Sebuah Resensi Buku oleh: Mohamad Sahril.
Tiba-tiba aku menjadi kaku. Bagaimana dan darimana harus memulainya. Semua mengaduk dalam sadar. Bukan karena tidak dalam keadaan mood, tapi perhatian ini nyaris beterbangan ke masa lalu, yang tak pernah saya temukan, karena memang itu telah lalu. Telah lampau.  Dan kelampauan itulah yang membuat roman ‘Larasati’ yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini menjadikan saya terhuyung-huyung membayangkan masa revolusi. Masa ketika semangat pemuda telah dibuktikan.

Dari sudut pandang Larasati sebagai tokoh kunci dalam roman ini, dimulailah cerita dengan alur maju yang sesekali menghentak. Bermula perjalanannya dari daerah pedalaman (Yogyakarta) menuju daerah pendudukan (Jakarta) menggunakan kereta, berdesak-desakan merasakan hawa revolusi yang dibakar semangat pemuda yang ia lewati di perjalanan.

Larasati adalah seorang artis, bintang film yang akrab dimata masyarakat ketika itu. Kemolekkan tubuhnyalah membuat ia dipuja-puji di panggung, bermain peran, bermain dalam film-film propaganda Belanda. Hingga berkenalan dengan petinggi negara. Ia juga akrab dengan pria hidung belang. Tapi ia adalah revolusi.

Ia saksikan orang-orang dengan senjata berseragam kusam dan gondrong, jarang bersampo, dengan semangat revolusi berapi-api, dari balik jendela kereta. Mereka bersorak ketika melihat Larasati “Ara, Ara, sukses…selamat,” dan Larasati hanya tersenyum. Namanya lebih akrab dipanggil Ara.

Beberapa kesempatan dalam kereta ia lewati dalam buruk sangka. Ia lebih menduga-duga daripada berpikir positif kepada lelaki-lelaki dalam perjalanan itu. Hingga ia pun sadar kalau semua lelaki itu adalah pejuang revolusi. Rasa penyesalan hadir ketika para lelaki itu turun dari kereta, dan Ara baru mengetahui itu semua, tanpa sempat berkenalan dan meminta maaf.

Setibanya di Cikampek, Ara memulai perjuangannya. Sempat ia menyaksikan kepiluan yang dialami para pemuda (orang republikan) dalam penjara. Disiksa hingga tewas. Dengan watak kerasnya dan tak kenal kompromi, Ara berusaha dan berdoa agar lolos dari Cikampek dengan bantuan Martabat, sopir kolonel Surjo Sentono.

Cerita pun berjalan lebih dinamis ketika Ara lolos dari rayuan Mardjohan, seorang penyiar dari Jakarta yang menghianat bergabung dengan Nica (Nederlandsch Indië Civil Administratie), Pemerintahan Sipil Hindia Belanda. Bersama Martabat, pemuda yang diam-diam juga adalah orang republikan itu, Ara menemui ibunya di kampung di Jakarta.

Pram kembali menggambarkan semangat revolusi dari para pemuda di kampung Larasati itu. Kampung yang setiap malam-malamnya diramaikan dentuman granat dan rentetan tembakan senjata mesin oleh tentara Nica. Disinilah Ara menemukan semangat jaung yang lebih nyata dari orang-orang muda. Ia pun terlibat dalam peristiwa heroik di sebuah malam, untuk membuktikan kepada para pemuda kalau ia dan Tabat juga bagian dari revolusi itu.

“Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau berani tidak ada, itulah sebabnya bangsa asing bisa jajah kita” kata komandan pemuda desa saat bersama Ara dalam malam terakhirnya.
Kebebasan Ara pun tertawan karena ulahnya sendiri. Ia tak menghiraukan permintaan ibunya agar pergi jauh dari kampung naas itu. Ia pun disekap Jusman, pemuda arab yang juga mata-mata Nica, setelah bertemu seorang penyair dari Yogya, Chaidir, dalam keadaan perut kosong dan tubuh yang lemas.

Nyaris ia menyerah pada keadaan ditawan tanpa status, bukan isteri bukan kekasih. Ia hanya memantau perjalanaan revolusi melalui radio dan koran. Kematian Chaidir yang ia baca di Koran bersamaan dengan dikuasainya Yogya oleh Nica. Ia menyerah dalam hati, mengatakan itu semua pada ibunya.

Seiring berjalannya waktu, ia pun lepas dari tawanan Jusman dengan pengorbanan ‘berdarah-darah’. Dan revolusi menemui kemenangan. Ara pun kembali bertemu mantan kekasinya, Oding. Ia tinggalkan gubuk reot di desa, pindah bersama ibunya serumah dengan Oding di gedung bekas bangunan Belanda dalam suasana kemerdekaan.

Itulah Larasati dengan caranya sendiri dalam perjuangan. Dalam revolusi pasca proklamasi. Cerita ini pertama kali dipublis, naskahnya dalam bentuk cerita bersambung di surat kabar Bintang Timur kolom budaya, mulai 2 April 1960 hingga 17 Mei 1960.

Dan setelah itu dibukukan mulai tahun 2000 oleh Hasta Mitra dan disusul cetakan berikutnya oleh Lentera Dipantara hingga edisi ke lima, dengan tebal 180 halaman dan ukuran 13X20 cm. Saya menyarankan anda untuk membacanya, biar keciprat perasaan dan semangat juang masa lalu. Masa Revolusi.

0 komentar:

Posting Komentar