Kamis, 26 Januari 2012

PEREMPUAN KEMBANG JEPUN

Resensi Novel oleh: Mohamad Sahril

Sebuah novel percintaan lintas budaya berlatar belakang perang dunia kedua karya Lan Fang. Dengan alur maju mundur yang merambat pelan, novel ini membedah satu per satu persaan para tokohnya, dibingkai di masing-masing bagian untuk kemudian disimpulkan pembaca sendiri. Dan bisa jadi anda merasa menjadi saksi dari perjalanan cinta Sujono, Sulis dan Matsumi. Cerita dimulai dengan mengulas kemiskinan keluarga Sulis yang menyebabkan dirinya dibawah ke kota oleh orang tuanya, diserahkan hidup bersama si Mbah.

Bernaung di rumah petak penuh sesak, Sulis menjalani hari-harinya sebagai perempuan penjual jamu gendong. Sulis digambarkan tidak sebagai tokoh seksi sebagaimana Matsumi. Ia hanya wanita pribumi Jawa dengan perawakan pas-pasan, menjajakkan jamu kepada tukang becak dan kuli pelabuhan di Tanjung Priuk Surabaya.

Sebagai perawan belasan tahun yang belum pernah mengenal seluk beluk dunia lelaki, Sulis acap kali disentuh Wandi, tukang becak yang dianggap Sulis lelaki paling baik yang ia kenal. Wandi jualah yang mengenalkan Sulis pada dunia lelaki, hanya dengan dorongan nafsu semata. Rasa cinta di antara keduanya tak bisa diwujudkan dalam bentuk pernikahan, karena Wandi adalah lelaki beristri dan sudah berusia lebih tua dari Sulis.

Lan Fang kemudian menghadirkan tokoh lelaki lain yang tampang dan profesinya tak jauh beda dengan Wandi. Ia adalah Sujono, yang juga menaksir Sulis diam-diam. Kuli pengangkut barang di sebuah toko kain milik Babah Oen di daerah Pecinang Surabaya. Daerah itu sering disebut sebagai segi empat emas di Surabaya. Sulis mengenal Sujono dari pekerjaan yang ia lakoni sehari-hari sebagai penjual jamu. Sujono sering berutang dan suka mencuri-curi pandang. Sulis pun tergoda. Dan pada suatu malam di rumah petak Sulis, Sujono dalam keadaan mabuk mendatangi dan menyetubuhi perempuan penjual jamu gendong itu.

Perputaran waktu perlahan mengantarkan Sulis pada situasi yang lebih sulit. Perutnya buncit dan siap melahirkan. Ia tak tau benih siapa yang telah berbuah di rahimnya. Wandi atau Sujono. Dalam kegamangannya, Sulis hanya berfikir untuk menggantungkan harapan pada Sujono. Sebab ia tak mau menjadi isteri kedua Wandi. Sementara Sujono menolak keras keinginan Sulis untuk dinikahi. Sujono menganggap janin itu bukan miliknya, tapi Wandi.

Sulis berusaha semampunya hingga akhirnya dinikahkan dengan Sujono dengan bantuan warga. Maka lahirlah Joko di kamar petak sempit milik Sulis. Kehidupan makin menghimpit mereka. Upah dari pekerjaan Sujono sebagai kuli di toko kain, lebih banyak ia habiskan untuk membeli rokok dan minum-minum. Sulis semakin merasakan getirnya hidup. Setiap hari pertengkaran terjadi di antara pasangan muda itu.

Hingga suatu saat, pekerjaan sebagai kuli panggul kain membawa Sujono mengenal seorang perempuan jepang, Matsumi. Ia adalah perempuan yang sengaja diseludupkan dari Kyoto saat Jepang akan melakukan ekspani ke wilayah asia termasuk menguasai Indonesia. Di Kyoto, Matsumi telah menjadi seorang Geisha paling terkenal dengan bayaran termahal. Itu juga sudah menjadi impiannya sejak kecil. Dan lagi-lagi, ia melakukan itu berawal dari himpitan ekonomi di keluarganya. Kedatangannya ke Indonesia karena diminta oleh Shosho Kobayashi, seorang Mayor jendral Jepang yang ditugaskan di Indonesia untuk memimpin agresi. Di Kyoto, Shosho Kobayashi adalah pelanggan tetap Matsumi.

Untuk mempertahankan martabat bangsa, Matsumi harus berganti nama. Ia tidak bisa menujukkan identitas sebagai orang Jepang di Indonesia, karena Geisha hanya ada di Jepang. Tidak di negara lain. Ia harus mengganti namanya menjadi Tjoa Kim Hwa, yang artinya ular bunga emas. Dengan begitu, ia akan dikenal sebagai perempian Cina yang berprofesi sama dengan perempuan lainnya di Kurabu, kelab hiburan di Jalan Kembang Jepun Surabaya.

Disinilah ia mengenal Sujono. Dengan keaanggunan dan kemolekkan wajah yang ia miliki, Sujono pun tergoda dan berniat menyaingi Shosho Kobayashi untuk bermain memadu cinta dengan Matsumi. Niat Sujono pun tercapai setelah berhasil mencuri uang Babah Oen untuk membeli Matsumi. Sensasi baru dari permainan cinta yang ditujukkan Sujono mengantarkan Matsumi sebagai seorang perempuan yang berhak mendapatkan kenikmatan dari setiap hubungan badan.

Sebagai Geisha, bertahun-tahun ia benar-benar barlaku hanya sebagai pemuas. Tak pernah terpuaskan. Pelanggaran yang menurutnya selama ini telah memenjarahkan gairahnya sebagai perempuan telah terbebaskan dengan sepak terjang Sujono di atas ranjang. Tak jarang, hasil pekerjaannya melayani tamu-tamu besar ia berikan kepada Sujono, agar Sujono bisa menemuinya lagi di Kurabu. Bukan sebagai kuli panggul kain, tapi sebagai tamu.

Dan pada suatu hari, gairah mereka pun memuncak dan lebih berkembang. Pengaruh Sujono bukan hanya saat berhubungan badan, tapi juga berhasil mencuci otak Matsumi. Dan ajakan hidup bersama yang ditawarkan Sujono diterima mentah-mentah oleh Matsumi tanpa berfikir panjang. Walaupun ia mengetahui bahwa Sujono telah beristeri dan mempunyai anak.

Sementara Sulis sendiri juga sudah semakin berubah. Gonggongannya sudah jarang terdengar. Karena Sujono telah memberikan apa yang ia minta, uang belanja dan jajanan Joko sudah dipenuhi. Meskipun ia tak tahu pada awalnya, bahwa uang-uang itu adalah hasil jeripayah Matsumi.

Lama kelamaan, hubungan tanpa jalinan pernikahan Sujono dan Matsumi menemukan titik nadir. Matsumi sadar kalau Sujono bukanlah lelaki yang pantas dijadikan sandaran hidup. Ia harus kembali ke kelab hiburan untuk memenuhi uang belanja dan asupan gizi puterinya, Kaguya. Meskipun bangsanya telah berhasil menguasai Indonesia, namun siatuasi Matsumi bertolak belakang dengan keadaan. Ia menderita atas pilihannya sendiri untuk hidup bersama Sujono. Kekuasaan jepang tak berlangsung lama, setelah menaklukkan pendudukan Belanda di Indonesia. Agresi sekutu menjatuhkan bom atom di Nagasaki dan Hiroshima, membuat kekuasaan Jepang di daerah-daerah kolononya termasuk Indonesia semakin tak bisa dipertahankan. Hingga akhirnya, bangsa Indonesia memanfaatkan situasi itu untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa yang telah merdeka.

Nasib Matsumi pun semakin terjepit. Ia harus kembali ke Jepang. Pilihan itu bukan hanya karena pesan gurunya dulu di Kyoto sebagai seorang Geisha, tapi karena saat itu terjadi swiping terhadap warga Jepang di Indonesia. Akhirnya ia harus kembali ke Jepang bersama kapal-kapal Cina, dan harus meninggalkan Kaguya di sebuah panti asuhan.  Ia tinggalkan Surabaya dengan seluruh penyesalan. Ia meresa seperti burjudi meninggalkan putrinya tanpa tau kapan ia akan kembali menjemputnya.

Sekilas, sulit bagi saya untuk memastikan bahwa novel ini beraliran feminisme. Setelah mendalaminya dengan mencermati kandungan di luar teks, menghubungkan setiap makna yang terselip dibalik pemberontakan isi hati para tokoh perempuannya, ternyata novel ini telah menggambarkan sebuah perlawanan bagi kebudayaan dan peradaban manusia. Menggoyahkan patriarki yang selama ini dikenal sebagai entitas bagi kebudayaan-kebudayaan lama, termasuk Jepang dan Indonesia. Perjalanan Matsumi kembali ke negara asalnya ternyata tak sia-sia. Ia temukan lagi kebahagiaannya di sana sebagai seorang perempuan, sebagai manuasi yang layak mendapat kasih-sayang, bukan sekedar pemuas nafsu atau sekedar menjadi objek penderita dalam kehidupan manusia.

Novel ini pertama diterbitkan oleh PT Grmedia pada tahun 2006. Dan kembali dicetak dengan tebal 288 halaman dalam ukuran 20 sentimeter pada tahun 2007. Lan Fang sendiri termasuk penulis muda berbakat kelahiran Banjarmasin tahun 1970. Ia telah menyelesaikan dan menerbitkan beberapa novel sebelumnya, seperti Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005) dan Reingkarnasi (2003).

0 komentar:

Posting Komentar