Kamis, 26 Januari 2012

NAYLA

Resensi novel oleh: Mohamad Sahril

Seperti yang terlihat pada sampul buku ini, novel ini dikemas melalui cara pandang seorang penulis jujur. Jujur tentang apa yang ia ceritakan. Di samping sampulnya tercetak catatan kecil: ‘untuk pembaca dewasa’. Nayla adalah buah karya Djenar Maesa Ayu. Pertama kali diterbitkan pada Juli 2005. Dan diterbikan hingga tiga kali pada tahun tersebut. Kebanyakan orang (pembaca) menilai karya sastra ini diramuh secara vulgar oleh penulisnya. Namun menurutku, Djenar telah berlaku jujur menyajikan hasil olah rasa dan pikirnya.

Dengan begitulah, Djenar secara sendirinya terkelompokkan sebagai penlis-penulis perempuan yang beraliran feminisme. Sebuah arus pergerakan pengkapanyean gender melalui karya sastra. Dalam buku ini, Djenar mencoba mengurai konflik tokohnya, Nayla, sebagai perempuan yang telah mengalami pelecehan seksual sejak kecil. Keluarga Nayla yang bergaya seperti kebanyakan keluarga dalam kehidupan mertopolitan, membuat Nayla bingung menentukan siapa yang sebenarnya yang akan ia jadikan panutan. Sementara sejak masa kecilnya, ayahnya telah menikah dengan seorang perempuan yang lebih muda dari ibu kandungnya.

Menurut ibunya, kedisiplinan yang diperlakukan kepada Nayla adalah latihan. Agar Nayla kuat dalam menghadapi hidup. Hal itu bertolak belakang dengan nurani Nayla. Kebiasaan ngompolnya tidak dengan sertamerta hilang ketika ibunya menusuk organ privatnya dengan peniti. Dan yang terjadi malah sebaliknya, Nayla takut terlelap karena takut ngompol. Ia tak merasakan lagi sakitnya tusukan peniti.

Kedisiplinan yang ia terima dari ibunya menjadi ‘ambigu’. Di satu sisi, ia dipaksa untuk melakukan segala sesuatunya dengan sempurna. Di sisi lain, apa yang ditunjukkan ibunya dengan membawa laki-laki lain ke rumahnya, atau mengajak Nayla bertemu pacar-pacar ibunya di sebuah restoran atau hotel berbintang, membuat Nayla lelah. Ia tak tahu, seperti apa sebenarnya ibunya.

Dari kebiasaan itulah, Nayla mengalami pelecehan seksual dari Om Indra, pacar ibunya yang paling dekat.

Nayla ingin pindah ke rumah ayahnya. Ia ingin bebas dari kungkungan ibu kandungnya. Situasinya seketika berubah, saat ayahnya meninggal. Dan ia dituduh ibu tirinya telah mengkonsumsi Narkoba. Pengalaman pahit kembali mewarnai hidupnya. Ia dijobloskan dalam rumah rehabilitasi pengguna Narkoba. Ia mencoba kabur. Dan akhirnya lolos.

Kebebesan yang ia temui benar-benar sebuah kebebasan yang ia inginkan. Ia bebes menentukan apa yang ia ingin lakukan, tanpa bayang-bayang ibunya. Nayla menyelami kehidupan ibukota dengan segala konsekwensinya. Ia menjadi seorang juru lampu di sebuah diskotik terkenal. Ia berkenalan dengan Juli, karyawan senior di tempat kerjanya. Mereka saling jatuh cinta dan bersepakat tinggal serumah. Ia juga mengenal Ben. Mereka juga sempat menjalani hubungan cinta. Bagi Nayla, jenis kelamin bukan soal. Yang penting adalah kasih sayang. Itulah kebebasan yang ia pahami. Ia terlibat aksi perampokan bersama teman-temannya. Ia pernah ditahan polisi. Ia merokok. Ia minum anggur. Ia kelayapan hingga larut malam.

Dalam novel ini, Djenar juga memberi kelebihan terhadap Nayla. Ia pandai menulis. Menulis segala cerita dalam hidupnya. Naila merekam semua yang ia alami. Kekerasan dalam rumah tangga yang ia alami. Kekerasan dalam berpacaran, baik dengan Juli maupun Ben. Fisik maupun Phisiks.

Membaca buku ini, anda akan jarang tersenyum atau tertawa. Djenar mengkonstruksi kalimat-kalimat pendek dan cepat. Ia membagi bagian-bagian cerita juga menjadi lebih pendek. Di awal, mungkin anda akan sedikit bingung. Dan kebingungan itu akan dijawab di bagian-bagian akhir. Hal-hal yang dianggap tabuh, menjadi suatu hal biasa dalam buku ini.

Terus terang, saya masih ragu untuk memastikan buku ini berisi penggambaran gerakan feminisme. Dalam kehidupan metropolitan, semua orang hampir diberi kebebasan untuk menentukan pilihan-pilihan. Hampir tak ada sekat-sekat yang dikonstruksi oleh budaya. Seperti apa yang ditunjukkan pada sikap semua tokoh di dalam novel ini, persoalan pilihan hidup menjadi sebuah kebebasan bagi setiap individu. Yang dapat disimpulkan dari penggambaran cerita setebal 178 halaman ini adalah; bahwa penerapan kedisiplinan bisa berbuah pembangkangan, dan bahkan pemberontakan. Nayla ingin kebahagiaan, dari siapa saja. Tidak memandang jenis kelamin dan status sosial.

4 komentar:

Posting Komentar